Etika Jurnalisme Di Ujung Tanduk, Ketika Sesama Wartawan Saling Serang

Opini248 Dilihat

 

 

Oleh: [T Khairul Razi ST MT]

 

Opini.Dalam dunia jurnalistik yang menjunjung tinggi etika dan integritas, kepercayaan publik terhadap media sangat bergantung pada profesionalisme para pelakunya. Namun baru-baru ini, jagat media di Aceh dihebohkan oleh tindakan seorang wartawan bernama Ery, yang merupakan bagian dari redaksi Media Pelita Aceh, bersama rekannya yang berinisial AB, menerbitkan sebuah tulisan opini yang menyerang secara personal jurnalis lain beserta bisnis yang dijalankannya.

 

Tulisan tersebut, yang tersebar melalui kanal online dan media sosial, mengandung nada sarkastik dan cenderung tendensius, dengan insinuasi yang merusak reputasi pihak yang dituju. Opini yang seharusnya menjadi ruang dialektika dan analisis mendalam atas isu publik justru berubah menjadi alat serangan pribadi.

 

Penurunan Etika Jurnalisme

 

Dalam konteks kebebasan pers, kritik adalah hal yang wajar, bahkan sehat untuk menjaga akuntabilitas. Namun, kritik harus dibedakan dari fitnah, pencemaran nama baik, atau opini yang dibangun berdasarkan asumsi tanpa fakta. Ketika sesama jurnalis saling menyerang secara personal, bukan hanya kredibilitas mereka yang tercoreng, melainkan juga kepercayaan publik terhadap media secara keseluruhan.

 

Kode Etik Jurnalistik Indonesia dengan jelas menyatakan bahwa wartawan harus menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Tulisan Ery dan AB, menurut pengamatan beberapa pemerhati media, tampak menyimpang dari pedoman ini.

 

Apalagi jika tulisan itu mengandung unsur persaingan tidak sehat—misalnya, karena kecemburuan terhadap keberhasilan bisnis rekan seprofesi. Ini bukan hanya persoalan etika, melainkan juga berpotensi masuk dalam ranah hukum jika terbukti mengandung pencemaran nama baik atau fitnah.

 

Potensi Konflik Kepentingan

 

Muncul pula dugaan bahwa opini tersebut tidak berdiri atas motivasi profesional, melainkan personal. Dalam lingkungan media lokal, seringkali para jurnalis juga terlibat dalam aktivitas bisnis atau politik. Hal ini sah-sah saja selama tidak mengganggu objektivitas dalam menjalankan fungsi jurnalistik.

 

Namun, dalam kasus ini, opini yang menjelekkan sesama jurnalis dan bisnisnya tampaknya muncul dari konflik kepentingan tertentu. Bila wartawan menggunakan medianya sebagai alat untuk menyerang lawan bisnis, maka ini merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang jurnalistik.

 

Konflik kepentingan seperti ini adalah racun bagi independensi media. Masyarakat akan sulit membedakan mana informasi yang obyektif dan mana yang sekadar pelampiasan emosi atau alat kampanye terselubung.

 

Imbas bagi Dunia Pers

 

Dampak dari kejadian ini sangat luas. Bagi dunia pers lokal di Aceh, ini menciptakan preseden buruk. Wartawan seharusnya menjadi penjaga marwah informasi yang bersih dan bertanggung jawab, bukan pelaku dari drama adu opini yang menurunkan martabat profesi.

 

Lebih jauh, masyarakat awam yang tidak memahami dinamika internal media bisa menggeneralisasi bahwa semua wartawan bersikap demikian. Ini adalah kemunduran besar bagi upaya membangun pers yang sehat dan dipercaya publik.

 

Bagi para wartawan muda yang baru terjun ke dunia jurnalistik, kasus seperti ini bisa memberi contoh keliru jika tidak segera diluruskan. Etika dan integritas tidak boleh dikorbankan demi ego pribadi.

 

Perlunya Sanksi dan Edukasi

 

Organisasi profesi seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) atau Aliansi Jurnalis Independen (AJI) perlu turun tangan dalam merespons insiden ini. Investigasi internal dan mediasi bisa dilakukan untuk memastikan bahwa standar etik dijaga dan tidak ada penyalahgunaan profesi.

 

Jika terbukti melanggar kode etik, maka sanksi administratif atau pencabutan keanggotaan organisasi bisa menjadi opsi. Hal ini bukan untuk menghukum secara pribadi, tapi untuk menjaga kepercayaan terhadap institusi jurnalistik.

 

Di sisi lain, edukasi mengenai etika jurnalisme harus terus digencarkan. Pelatihan mengenai penulisan opini yang baik, mengenali konflik kepentingan, serta cara menyampaikan kritik tanpa melanggar hukum perlu diberikan secara berkala kepada jurnalis, baik yang baru maupun senior.

 

Ruang Damai dan Klarifikasi

 

Masalah ini sebenarnya bisa diselesaikan secara baik jika ada ruang dialog. Jurnalis yang merasa diserang bisa menggunakan hak jawab atau menempuh jalur hukum bila merasa dirugikan secara serius. Namun alangkah baiknya bila sesama jurnalis mampu duduk bersama dan menyelesaikan persoalan dengan kepala dingin.

 

Ruang damai perlu difasilitasi oleh organisasi media atau tokoh-tokoh pers senior. Reputasi individu bisa pulih, namun kepercayaan publik yang hilang butuh waktu lama untuk dikembalikan.

 

Refleksi bagi Semua Pihak

 

Peristiwa ini seharusnya menjadi bahan refleksi, bukan hanya bagi Ery dan AB, tetapi juga bagi seluruh insan pers. Menulis opini adalah hak, tapi dengan hak itu datang pula tanggung jawab. Apalagi ketika tulisan kita bisa memengaruhi persepsi publik dan bahkan nasib seseorang.

 

Profesi wartawan bukan sekadar pekerjaan, melainkan amanah untuk menyampaikan kebenaran dengan cara yang adil, objektif, dan bermartabat.

 

Penutup

 

Kita semua bisa belajar dari peristiwa ini. Dunia pers tidak kebal dari kesalahan, namun bagaimana kita merespons dan memperbaikinya adalah yang terpenting. Jurnalisme yang sehat adalah jurnalisme yang menjunjung tinggi nilai etik, bukan ego pribadi.

 

Sudah saatnya jurnalis bersatu bukan hanya dalam liputan, tapi juga dalam menjaga marwah profesi dari hal-hal yang bisa mencoreng integritas bersama. Kritik boleh, tapi lakukan dengan cara yang elegan. Karena pada akhirnya, publik akan menilai siapa yang benar-benar bekerja demi kebenaran, dan siapa yang hanya menulis demi kepentingan pribadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *