Oleh Umar Rafsanjani
Opini.Suatu sore di awal tahun 2018, Tgk. Mustafa Husen Woyla, Ketua DPP ISAD Aceh, berkisah kepada saya tentang sebuah pertemuan yang masih lekat dalam ingatannya. Sore itu, beliau duduk di beranda kediaman Abu Serambi atau bernama lengkap Abu H. Mahmudin Usman, di komplek Dayah Serambi Aceh, Meunasah Rayeuk, Aceh Barat.
“Waktu itu kami lama berbincang tentang dunia dayah,” tutur Tgk. Mustafa membuka cerita. “Di akhir pertemuan, saya menyerahkan kalender Dayah Darul Ihsan Abu Krueng Kalee. Di salah satu lembarnya tercetak nama-nama santri Aceh yang berprestasi di tingkat nasional — salah satunya Juara 1 Balaghah Ulya Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Nasional 2017 di Jepara, Jawa Tengah.”
Abu Serambi, kata Tgk. Mustafa, sempat tertegun beberapa saat.
“Cabang balaghah, aneuk mit Darul Ihsan juara?” tanyanya dengan nada ta‘jub.
“Iya, Abu,” jawab Tgk. Mustafa kala itu. “Ada guru bidang khusus di sana, Abu. Ada Dr. Muakhir Zakaria dan Tu Sudan Tgk. Hasanuddin — keduanya doktor Balaghah dari Sudan.”
Abu mengangguk pelan sambil tersenyum.
“Ooo… ya ya. Pantas,” ujarnya.
Tgk. Mustafa menuturkan bahwa Abu kemudian berbicara tentang pentingnya dayah terpadu. “Abu bilang, berkat adanya sistem terpadu, aneuk mit setingkat SMP dan SMA sudah bisa beut kitab seperti Matan Taqrib, Bajuri, hingga I’anah. Kalau bukan karena sistem terpadu, pane susah awak dayah salafiah jak jak pubeut kitab nyan,” kenang Tgk. Mustafa.
Abu juga menambahkan, banyak lulusan dayah terpadu yang setelah tamat justru melanjutkan ke dayah salafiah pada tingkat lanjutan. Bahkan, kata Tgk. Mustafa, Abu Serambi sendiri pernah menganjurkan sejumlah relasi dan tokoh Meulaboh agar anak-anak mereka melanjutkan pendidikan ke dayah terpadu.
“Di antara yang saya ingat,” ujar Tgk. Mustafa, “adalah anak Haji Wawan, pemilik Apotek Meulaboh.”
Menjelang senja, sebelum pamit, Tgk. Mustafa menghadiahkan kepada Abu Serambi sebuah buku karya Tgk. Alizar Usman berjudul “Pena Teungku Dayah: Mengupas Tuntas 37 Jawaban Polemik Terkini”, karya seorang alumnus Dayah Darul Muarrif Lam Ateuk.
“Abu tersenyum,” kata Tgk. Mustafa menutup kisahnya,
“Memang bereh that Tgk. Alizar, gigeh bak kalon kitab dan menulis.”
Pasca Pengumuman MQK Internasional Aceh di Sulawesi Selatan ada korelasinya kisah ketua ISAD bersama Abu Serambi itu.
Baiklah, kita bahas pelan-pelan.
Antara Dayah Salafiah dan Terpadu
Abu Serambi, ulama kharismatik asal Meulaboh, memandang dengan jernih: keberadaan dayah terpadu bukanlah ancaman bagi dayah salafiah. Ia justru turunan dan perluasan fungsi. Qanun Dayah Aceh Tahun 2018 menegaskan bahwa dayah terpadu dan tahfiz adalah kelanjutan dari dayah salafiah, selama tetap berpegang pada manhaj Ahlussunnah wal Jamaah, bermazhab empat, dan beraqidah Asy’ari-Maturidi.
Namun, di awal 2000-an sebagian pihak masih alergi terhadap istilah “terpadu”. Mungkin karena khawatir kitab akan tergeser oleh kurikulum umum. Kini, dua dekade berlalu, kekhawatiran itu mestinya sudah reda. Santri yang belajar kitab kuning sembari menghafal rumus kimia justru mampu bersaing di tingkat nasional bahkan internasional.
Ini sudah selesai dengan pendirian Dayah Terpadu oleh Abu Daud Zamzami – Dayah Inshafuddin, Abi Daud Hasbi ada Dayah Jeumla Amal. Waled Nu Samalanga ada Ummul Ayman dan sejumlah ulama lain dengan Dayah terpadu nya.
Intinya, Kita tidak sedang bicara soal kompetisi antara dayah salafiah dan terpadu, tetapi tentang kolaborasi dua arus pendidikan Islam yang seharusnya saling menguatkan. Ini penting dicamkan oleh segelintir ‘abra’u’ yang belum mengenal paham betul tipologi Dayah di Aceh.
Prestasi yang Menurun, Evaluasi yang Tertunda
Sayangnya, semangat kolaborasi ini belum sepenuhnya terbentuk. Dalam beberapa tahun terakhir, prestasi Aceh di ajang MQK dan MTQ Nasional justru menunjukkan tren menurun. Tahun 2024, Aceh turun dari peringkat 10 ke 11 di MTQ Nasional. Sedangkan di MQK, posisi yang sempat di lima besar kini merosot ke delapan atau sembilan. “Vendor atau EO” masih pemain yang sama. Maka perlu peremajaan. Pihak otoritas harus jeli melihat ini. Bek isiliek meulisan sabee. Karena hikikat MQK dan MTQ itu berbeda.
Pertanyaannya: di mana letak masalahnya?
Beberapa catatan disampaikan oleh para pembina dan pengamat dayah. Pertama, minimnya peserta di sejumlah cabang, terutama debat Bahasa Arab dan Inggris, sebenarnya ini domainnya dayah terpadu, kenapa tidak ada utusan. Padahal ini penting untuk daya saing nasional. Kedua, keterbatasan dana dan fasilitas pelatihan berjenjang, sehingga pembinaan sering bersifat temporer, tergesa-gesa age na droe kiraju.
Ketiga, ketidakjelasan Sistem CBT (Computer Based Test) dalam seleksi belum fokus pada penguasaan kitab. Akibatnya, ada santri yang lulus tes tapi tidak benar-benar mahir membaca teks turats. Keempat, koordinasi antara Dinas Dayah dan Ditpontren Kemenag belum maksimal, padahal MQK adalah panggung sinergi dua lembaga tersebut. Kelima faktor Eksternal, juri banyak dari Pulau Jawa, ini ada kekhawatiran lain tersebab ini.
Dari “Jago Kandang” ke Kompetisi Global
Ada istilah yang sering muncul di kalangan pembina: jago kandang. Santri yang gemilang di tingkat lokal, namun kehilangan percaya diri di forum nasional.
Di era digital, kejagoan lokal bukan lagi jaminan. Santri kini bersaing bukan hanya dengan sesama santri, tapi juga dengan pelajar dunia yang membaca al-Jurjani sambil belajar Python. Dunia bergerak cepat, sementara pendidikan Islam tidak boleh berjalan dengan sepatu kayu.
Aceh, yang dikenal sebagai Serambi Makkah, mestinya tidak kekurangan sumber daya manusia. Tetapi tanpa pembaruan sistematis dan massif, semangat saja tidak cukup. Spirit tanpa struktur sering berhenti di slogan.
Belajar dari yang Muda
Hari ini, ketika anak-anak usia SMP dan SMA mampu mengharumkan nama Aceh di MQK, mestinya kita tidak merasa tersaingi. Mereka bukan kompetitor, mereka penerus.
Santri-santri muda dari dayah terpadu belajar Matan Taqrib sambil mempelajari biologi dan matematika. Mereka tidak menunggu usia tua untuk berdialog dengan teks klasik. Di tangan mereka, kitab kuning bukan beban, melainkan kebanggaan.
Dalam beberapa edisi MQK, nama-nama dari dayah terpadu yang kebetulan dayah Darul Ihsan, selalu ada di MQK_N dan MQK Internasional;
Kana Rahmi (Juara 1 Balaghah Ulya, 2017), Nasywa Fataya (Juara 1 Akhlak Wustha, 2023), dan Ashabul Aziz (Juara 1 Tafsir Wustha, 2025). Adapun dari dari terpadu lain juga ada, namun tidak juara satu.
Kritik untuk Semua: Berbenah, Bukan Menyalahkan
Kritik terhadap prestasi Aceh bukan untuk merendahkan para pelatih, panitia, atau dinas terkait. Tetapi agar kita tidak larut dalam kebanggaan semu. Masalahnya bukan siapa yang salah, tapi siapa yang berani berubah.
Bila ada personal yang sudah lama tidak berprestasi tetapi masih ingin mengatur panggung, Mungkin saatnya memberi ruang bagi yang lebih segar. Dalam bahasa Mahbub Djunaidi: “Mundur terhormat lebih baik daripada mempermalukan diri sendiri dan induk semangnya.”
Perubahan tidak datang dari satu pihak saja. Kemenag, Dinas Dayah, Forum Komunikasi Dayah, pelatih, official dan lembaga swasta perlu duduk bersama menyusun peta jalan pembinaan santri yang berkesinambungan. kenapa serius kali, MQK bukan sekadar lomba baca kitab, tetapi cermin kualitas pendidikan Islam Aceh hari ini.
Menutup Kalender, Membuka Cermin
“Djang ka kakeuh, ukeu benah droe, bek sabee hana peng, Aceh kaya.” Berikut sejumlah cabang dan Jenis Lomba MQK Tahun Ini;
| 1. Debat Bahasa Arab | 2. Debat Bahasa Inggris | 3. Debat Qanun (Ma’had Aly) | 4. Bahtsul Kutub | 5. Tarkib Digital | 6. Lalaran Bait / Hifzuzh Mutun
Prestasi boleh naik-turun, tapi arah tidak boleh kabur. Aceh telah memiliki modal sejarah, jaringan ulama, dan qanun yang yang istimewa. Yang kurang hanyalah keberanian untuk memperbaiki diri. Padahal “Mengenali kelemahan sendiri adalah langkah pertama puga Bansa.”
Penulis adalah Praktisi Dayah Aceh