MAceh Tamiang | Buser Siaga —
Badan Usaha Milik Kampung (BUMK) Pangkalan, Kecamatan Kejuruan Muda, Aceh Tamiang, kini menjadi sorotan publik usai mencuat dugaan praktik korupsi dalam pembangunan usaha depot air minum yang menelan anggaran sebesar Rp93 juta. Dana tersebut bersumber dari Dana Desa, namun hingga kini pertanggungjawaban atas penggunaannya belum jelas.

Ironisnya, bangunan depot air minum yang menggunakan dana publik itu ternyata berdiri di atas tanah pribadi milik Datuk (Kepala Desa) Agustina Sari. Tidak hanya itu, seluruh aset BUMK Kampung Pangkalan pun ikut dipertanyakan, karena hingga saat ini keberadaannya dinilai tidak jelas dan berpotensi merugikan negara.

Sejumlah pihak menduga adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh Datuk Agustina Sari, mulai dari proses pembelian barang, pengelolaan keuangan BUMK, hingga pengangkatan anggota keluarga dalam struktur BUMK baru yang akan dibentuk. Salah satu yang disoroti adalah pembelian kendaraan operasional jenis Viar di Kota Langsa, yang seluruh prosesnya dikabarkan ditangani langsung oleh Datuk, tanpa transparansi atau pelibatan pengurus lainnya.

Kondisi ini turut memicu mundurnya Ketua BUMK sebelumnya, yang merasa tidak lagi dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan kecewa dengan kepemimpinan yang dinilai otoriter serta tidak profesional.

Dalam perkembangan terbaru, Datuk Agustina Sari dikabarkan akan membentuk kembali BUMK baru dengan anggaran sebesar Rp140 juta untuk tahun 2025. Yang mengejutkan, Ketua BUMK yang baru disebut-sebut merupakan mantan adik ipar Datuk sendiri. Hal ini semakin menguatkan dugaan praktik nepotisme dalam pengelolaan keuangan desa.

Tak hanya itu, posisi Bendahara Desa pun diisi oleh adik kandung Datuk Agustina, sebuah fakta yang semakin memperkuat indikasi adanya praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) dalam pemerintahan tingkat kampung tersebut.

Menanggapi berbagai dugaan tersebut, Ketua LSM Transparan Aceh Tamiang, Kamal Ruzamal, menyuarakan desakan agar Inspektorat Kabupaten Aceh Tamiang segera turun tangan dan melakukan audit menyeluruh terhadap operasional dan penggunaan dana BUMK Pangkalan.

“Kami menemukan indikasi kuat bahwa bangunan fisik senilai Rp93 juta itu berdiri di atas tanah pribadi milik keluarga Datuk. Jika tidak ada perjanjian kerja sama tertulis antara BUMK dan pemilik lahan, maka hal ini patut dicurigai sebagai bentuk penggelapan aset dan KKN,” ujar Kamal kepada wartawan, Senin (20/11/2023).

Ia menambahkan, bila Inspektorat tidak serius menindaklanjuti dugaan ini, maka kasus tersebut sebaiknya diserahkan kepada aparat penegak hukum (APH), guna menghindari pembiaran terhadap potensi kerugian negara.

Kasus BUMK Pangkalan menjadi contoh penting bagaimana pengelolaan Dana Desa perlu diawasi dengan ketat. Dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang menyeruak menunjukkan adanya celah dalam sistem pengawasan dana publik di tingkat kampung. Jika tidak segera diusut tuntas, dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi program pembangunan desa di Aceh Tamiang dan daerah lainnya. ( Zulherman )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *