Dayah Ajarkan Islam Wasathiyah Kepada Santri Untuk Cegah Sikap Radikal Dalam Beragama

Banda Aceh50 Views

Banda Aceh – Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh bekerjasama dengan Tastafi Kota Banda Aceh dan HIPSI Aceh kembali menggelar kajian aktual yang kali ini mengangkat tema “Praktik Islam Wasathiyah di Dayah : Membendung Sikap Radikal dalam Beragama”.

Kajian yang dibarengi dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan launching Buku “Praktik Islam Wasathiyah di Institusi Pendidikan Dayah di Aceh” karya Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP ISAD Aceh, Dr Teuku Zulkhairi, MA ini berlangsung di Hotel Kyriad Muraya, Banda Aceh, Rabu (27/9/2023).

Kajian tersebut dihadiri ratusan peserta dari kalangan santri, mahasiswa, utusan Kanwil Kementerian Agama Aceh, Dinas Pendidikan Dayah Aceh, KNPI Aceh, ISKADA, BKPRMI Aceh dan lain sebagainya.

Ketua Umum DPP ISAD Aceh, Tgk Mustafa Husen Woyla, S.Pd.I dalam sambutannya mengatakan, kajian ini diinisiasi oleh ISAD Aceh bekerjasama dengan Tastafi Kota Banda Aceh, HIPSI Aceh, dan didukung oleh Hotel Kyriad Muraya yang memfasilitasi tempat untuk pelaksanaan kegiatan tersebut.

Kajian aktual Tastafi yang dilakukan oleh gabungan beberapa Ormas Islam ini, kata Mustafa, dilaksankan dua kali dalam sebulan, yaitu satu kali di Hotel Hermes Palace dan satu kali Hotel Kyriad Muraya. Kajian ini mengangkat isu-isu aktual berbasis sosial-keagamaan serta upaya mencari solusi demi kemaslahatan ummat.

“Kajian Tastafi ini sudah berlangsung 98 kali. Jelang 100 kali kajian, insya Allah akan dibuat kajian akbar. Kita akan terus menghadirkan gagasan dalam upaya mencegah perpecahan umat serta membendung hadirnya paham-paham yang berseberangan dengan Ahlul Sunnah Wal Jamaah di Aceh,” ujar Mustafa Woyla yang juga Wakil Pimpinan Dayah Darul Ihsan.

Dayah Ajarkan Islam Wasathiyah

Pada kajian Tastafi kali ini, topik pembahasannya fokus terhadap isi buku “Praktik Islam Wasathiyah di Institusi Pendidikan Dayah di Aceh” yang ditulis Sekjen DPP ISAD Aceh yang juga Mudir Ma’had Aly Babussalam Al Hanafiah Matangkuli dan Dosen UIN Ar-Raniry, Dr Teuku Zulkhairi, MA.

Dal paparannya, Zulkhairi mengatakan buku yang ditulisnya ini terinspirasi setelah membaca kitab karangan Prof Dr Yusuf Al-Qardhawy yang berjudul “al-Khaṣāiṣ al-‘Ammah lil Islām”. Disebutnya, dalam kitab tersebut, Yusuf Al Qardhawy menjelaskan tujuh karakteristik ajaran Islam yaitu Rabbaniyah (Ketuhanan), Insaniyah (Kemanusiaan), Syumuliyah (Universal/Konferensi), Wasathiyah (Seimbang/di tengah-tengah), Al Waqi’iyah (realistis), al-Wudhuh (jelas/terang) dan al-Jam’u baina at Tsabit wal al-Murunah (Fleksibel).

Dijelaskan bahwa Wasathiyyah merupakan salah satu karakteristik yang menunjukkan keistimewaan dan ketinggian ajaran Islam. Dengan karakteristiknya yang Wasathiyah, Islam merupakan agama yang senantiasa seimbang (tawazun) dalam semua persoalan, selalu berada di poros tengah, sangat solutif terhadap permasalahan manusia. “Makanya di Barat disebut “Islam is the solution”, Islam adalah satu-satunya solusi,” ujar Zulkhairi.

“Setelah mempelajari teori tentang Islam Wasathiyah ini, membuat saya tertarik melakukan penelitian tentang bagaimana praktik Islam Wasathiyah dipraktekkan di institusi pendidikan Dayah yang merupakan institusi pendidikan tertua di Nusantara yang masih eksis,” ungkapnya, menambahkan.

“Nah, Paradigma Wasathiyah ini dalam praktiknya diamalkan secara baik dalam pembelajaran di Dayah. Hasil penelitian yang dibukukan ini menunjukkan bahwa dayah senantiasa mendidik para santri sikap Wasathiyah (tawazun/seimbang) dalam semua urusan,” sambung Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh itu.

Kata Zulkhairi, dengan paradigma pendidikan Wasathiyah yang diajarkan di dayah, sehingga membuat para santri yang belajar Islam akan jauh dari pemikiran dan sikap-sikap takfiri, juga jauh tidak ekstrim kanan dan maupun tidak ekstrim kiri. Selain itu membuat para santri senantiasa berada dalam keseimbangan dalam melihat semua urusan dan persoalan.

Dan dengan paradigma Islam Wasathiyah seperti inilah yang membuat institusi pendidikan Dayah di Aceh atau di Nusantara dikenal dengan pesantren terus eksis berabad-abad lamanya. Dalam situasi paling runyam sekalipun, di masa penjajahan, masa konflik hingga masa covid pendidikan Dayah itu terus jalan seperti tidak terpengaruh.

Dalam praktiknya, Zulkhairi mengatakan, praktik Islam Wasathiyah di Dayah terwujud dimana ayah mendidik para santri keseimbangan dunia akhirat. “Pembelajaran di dayah itu mengintegrasikan orientasi dunia dan akhirat sekaligus. Materi-materi pembelajaran di Dayah yang diajarkan dari sumber kitab-kitab itu bukan hanya mengajarkan untuk bagaimana sukses di akhirat, tapi juga bagaimana sukses di dunia,” ujar Zulkhairi saat memberi sambutan di awal kegiatan Launching dan Kajian.

Pada sisi yang lain, kata Zulkhairi, santri di dayah juga diajarkan keseimbangan mengunakan akal dan wahyu. “Santri di Dayah tidak diajarkan pengetahuan tentang Wahyu secara dogmatis. Sebab di sisi lain para santri juga diajarkan pelajaran tentang ilmu akal atau logika seperti mata pelajaran Mantiq. Jadi itu menjadikan pembelajaran di Dayah seimbang antara kajian tentang Wahyu dan tentang fungsi akal,” kata Zulkhairi menerangkan.

Zulkhairi juga menjelaskan bahwa pendidikan di Dayah itu mendidik santri hablumminallah dan hablumminannas sekaligus dengan seimbang. Hubungan yang dibangun bukan hanya dengan Allah SWT saja melalui serangkaian ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah. Tapi juga hubungan dengan sesama manusia atau masyarakat juga dibina dengan sangat baik. Bahkan kehadiran dayah-dayah menjadi menyatu dengan masyarakat karena keberadaan dayah di Aceh itu dianggap mampu mewujudkan rasa aman bagi masyarakat sekitarnya.

Dayah juga mengisi mengisi Jasmani dan rohani santri secara seimbang. Raga mereka dibangun dengan olahfisik dan puasa. Sementara rohani mereka disiram dengan tausyiah-tausyiah yang dibutuhkan para santri sehingga memiliki kekuatan jiwa yang kokoh.

Dayah juga mendidik santri jalan tengah ketika dihadapkan pada pilihan ekstrim kanan (wahabisme) dan ekstrim kiri (khurafat, bid’ah dan liberalisme). Dalam konteks aqidah khususnya kepercayaan kepada Allah SWT, dayah mendidik santri bahwa Allah itu ahad, antara Atheisme yang tidak percaya adanya dan Polothiesme yang mempercayai banyak Tuhan. Melalui pembelajaran tauhid, Dayah mendidik santri pemahaman yang kokoh bahwa Allah itu Esa.

Tanggapan Terhadap Buku “Praktik Islam Wasathiyah di Institusi Pendidikan Dayah di Aceh”

Fadhil Rahmi, Lc, M.Ag, Alumnus Universitas Al Azhar Mesir mengatakan sangat sangat sepakat dengan judul dan isi buku yang ditulis Dr. Zulkhairi tersebut, bahkan dirinya mendukung diperbanyak buku ini.
“Dan Insya Allah dalam disertasi saya juga akan mengkaji hal yang sama, tentang moderasi agama. Moderasi agama, ada yang kebablasan ditafsir oleh para pihak menurut kepentingannya,” ujar Senator DPD RI asal Aceh itu.

Buku ini, lanjut Fadhil Rahmi, karya aktifis dayah dari ISAD Aceh menjadi model moderasi atau wasathiyah versi Aceh yang digagas oleh alumni Dayah. Menurutnya, Al-Qur’an menarasikan mengenai umat Islam sebagai umat yang wasathiyah dalam Q.S al-Baqarah [2]: 143): “Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu….”.

“Islam yg diajarkan di dayah tidak intoleran, menghargai kearifan lokal, menjunjung komitmen kebangsaan, dan tidak mengajarkan radikalisme,” pungkas Fadhil Rahmi.

Dr. Tgk H. Faisal M. Nur, Lc, MA, Pengurus Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) dan juga Dosen UIN Ar-Raniry memaparkan, Islam wasathiyah adalah agama yang dibawa oleh baginda Rasulullah SAW. “Makanya tidak asing jika Dr Zulkhairi menemukan islam wasathiyah di dayah, karena sanad bersambung kepada sang pembawa risalah. Bahkan kehidupan di dayah mirip dengan ahlu suffah yang rela hidup miskin hijrah dari mekkah menuju madinah,” ungkapnya.

Disebutnya, moderasi agama yang sesungguhnya bisa dilihat langung dalam piagam madinah. “Washatiyah (moderasi) terbagi dua yaitu (1) Moderasi dalam pandangan luas yaitu moderasi antar beragama. (2) Washatiyah (moderasi) dalam pandangan khusus yaitu moderasi antar sesama muslim sebab ada dalil yang menjelaskan tentang perpecahan, namun demikian harus mengambil yang banyak pengikut yang sawadhul a’adham yaitu
Semua umat Nabi Muhammad Saw masuk syurga walaupun kadangkala terlambat masuknya.

“Hal terpenting adalah saling menghormati satu sama lain antar sesama muslim supaya ukhuwah islamiyah tetap terjaga dengan baik,” pungkas Faisal M. Nur.

Selanjutnya Drs. H.Saifuddin A. Rasyid, M.LIS, Kepala Pusat Kerohanian dan Moderasi Beragama (PKMB) UIN Ar-Raniry membeberkan kalau Penulis Buku, Dr Zulkhairi mendapat salam langsung via dirinya melalui WhatsAap dari sang pencetus Moderasi Beragama di Indonesia, Lukman Hakim Saifuddin yang merupakan mantan Menteri Agama RI 2014-2019.

Dalam tanggapannya, Saifuddin A. Rasyid mengatakan kalau pengertian Moderasi Agama adalah konsep yang menekankan pada sikap saling menghormati dan toleransi di antara kelompok agama berbeda. Intinya kata dia, Moderasi Agama adalah beragama-lah dengan baik dan benar menurut agama masing-masing.

“Moderasi agama bukan seolah agama dan islam yang dimoderasi, tapi tetap atas pengertian moderasi yang telah disepakati. Secara fakta, bahwa di dayah mengajar moderasi agama, dan bisa dilihat langsung dari buku ini,” ujar Dosen UIN Ar-Raniry ini seraya merekomendasi buku wasathiyah ini dibaca oleh mahasiswa dan semua kalangan.

Saifuddin A. Rasyid kemudian mentamsilkan kegiatan Maulid yang menimbulkan perdebatan. “Toleransi masalah maulid misalnya, kalau dikategori dalam ibadah maka akan jadi masalah, tapi jika itu dikategorikan budaya dan muamalah maka jadi wilayah moderasi agama internal agama. Karena kekacauan itu ada tudingan-tudingan, kalau tidak ditanggapi juga jadi masalah, tapi diberi reaksi secara proporsional agar tidak masuk wilayah radikal juga,” katanya.

“Perlu dijelaskan juga bahwa di dayah dan perguruan tinggi sebenarnya tidak ada dikotomi (pemisah) pendidikan umum dan agama, yang ada fardhu ain dan kifayah. Jadi ilmu umum fardhu juga, tapi bersifat kifayah,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *