Antara Maklumat Ulama Aceh Dan Resolusi jihad, Ada Yang Terlupakan

Opini51 Dilihat

 

Refleksi Hari Santri Nasional

 

 

Oleh: Mustafa Husen Woyla*

 

Opini.Kalangan ulama Aceh sudah lama tahu, namun banyak yang baru tahu, ternyata Aceh lebih cepat.

Bukan hanya dalam hal azan subuh, tapi juga dalam hal resolusi jihad.

 

Bulan Oktober 1945, para ulama Aceh sudah berkumpul. Mereka gelisah. Jepang kalah. Belanda hendak kembali. Mereka bukan orang yang menunggu perintah dari Jawa atau Jakarta. Mereka rapat sendiri, di masjid, di meunasah, di rumah para teungku. Lalu lahirlah Maklumat Perang Sabil, tanggalnya 15 Oktober 1945.

 

Satu minggu sebelum Nahdlatul Ulama di Jawa mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober. Tapi di buku pelajaran nasional, yang disebut hanya Surabaya. Hanya 22 Oktober. Aceh tidak disebut.

 

Padahal jauh sebelum Indonesia merdeka, Aceh sudah punya hikayat perjuangan sendiri. Ada Hikayat Prang Sabi karya Teungku Chik Muhammad Pante Kulu. Isinya bukan dongeng, tapi ‘fatwa’. Seruan untuk bangkit, melawan penjajah, dan mati syahid di jalan Allah.

 

Di Aceh, kata perang sabil bukan istilah baru. Ia sudah jadi napas kehidupan. Diajarkan di dayah, diteriakkan di mimbar, dan dijalankan di medan perang. Sebelum ada mikrofon, kalimat itu sudah menggema di pegunungan dan sawah-sawah Aceh.

 

Maka ketika Belanda hendak kembali bersama Sekutu, para ulama Aceh tidak menunggu komando. Mereka menggelar muzakarah membahas cara mengakhiri kekuasaan Jepang dan menghalau masuknya Belanda ke Aceh. Sentimen anti-Jepang sudah memuncak. Senjata direbut di mana-mana. Petinggi Jepang lebih banyak bersembunyi. Kapal perang Belanda di perairan Aceh menembaki pesisir untuk menakut-nakuti penduduk.

 

Dalam suasana genting itu, ulama Aceh mengeluarkan maklumat bahwa perang mempertahankan kemerdekaan dan menolak penjajahan kembali adalah perang sabil.

 

Isinya tegas, berapi-api, dan langsung menggetarkan hati. Mereka menulis, “Belanda adalah satu kerajaan kecil serta miskin, lebih kecil dari daerah Aceh dan telah hancur lebur. Mereka telah berbuat khianat kepada tanah air kita Indonesia yang sudah merdeka itu untuk dijajahnya kembali.”

 

Lalu mereka memperingatkan rakyat Aceh, “Kalau maksud yang jahanam itu berhasil maka pastilah mereka akan memeras segala lapisan rakyat, merampas semua harta benda negara dan harta rakyat, dan segala kekayaan yang telah kita kumpulkan selama ini akan musnah sama sekali. Mereka akan memperbudak rakyat Indonesia menjadi hambanya kembali dan menjalankan usaha untuk menghapus agama Islam yang suci serta menindas dan menghambat kemuliaan bangsa Indonesia.”

 

Dan di bagian paling sakral mereka menegaskan, “Menurut keyakinan kami, perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut Perang Sabil.”

 

Maklumat itu ditandatangani oleh empat ulama besar, Tgk Haji Hasan Kruengkale, Tgk Muhammad Daud Beureueh, Tgk Haji Ja’far Sidik Lamjabat, dan Tgk Haji Ahmad Hasballah Indrapuri. Diketahui oleh Residen Aceh Teuku Nyak Arief, dan disetujui oleh Ketua Komite Nasional Aceh Tuanku Mahmud.

 

Mereka menutup maklumat itu dengan seruan yang masih relevan hari ini, “Bangunlah wahai bangsaku sekalian, bersatu padu menyusun bahu mengangkat langkah maju ke muka untuk mengikuti jejak perjuangan nenek kita dahulu. Tunduklah dengan patuh akan segala perintah pemimpin kita untuk keselamatan tanah air, bangsa, dan agama.”

 

Lihatlah gaya bahasanya. Tegas, lugas, tapi bernyala iman. Tidak ada kalimat basa-basi birokrat. Tidak ada janji pembangunan. Yang ada hanya panggilan hati, dari ulama kepada umat.

 

Itulah sebabnya saya kadang heran, mengapa maklumat sebesar ini tidak pernah disebut dalam buku sejarah nasional. Mengapa yang disebut hanya Resolusi Jihad di Surabaya, padahal satu minggu sebelumnya Aceh sudah melakukannya.

 

Saya bukan anti-Jawa, tapi memang ada kecenderungan aneh dalam sejarah nasional kita. Segala sesuatu yang besar harus lahir dari Jawa. Pahlawan nasional, tokoh Islam, bahkan hari besar keagamaan, semua terasa berpusat di sana.

 

Padahal sejarah Indonesia tidak lahir di satu pulau. Islam datang ke Nusantara bukan lewat Jawa, tapi lewat Aceh. Lewat Peureulak, lewat Samudera Pasai. Di sanalah berdiri zawiyah dan dayah pertama di Asia Tenggara. Cot Kala, Tanoh Abee, Peureulak, semua sudah ada ketika pesantren di Jawa belum punya nama. Bahkan sebelum kata santri populer, sudah ada murid dayah yang mempelajari tafsir, hadis, dan bahasa Arab dari ulama-ulama besar di pesisir utara Sumatra.

 

Tapi buku sejarah nasional seperti enggan menoleh ke barat. Semua pandangan diarahkan ke Jawa, dan Aceh hanya disebut ketika bicara perlawanan kecil atau daerah istimewa. Seolah Aceh hanyalah catatan kaki dari sejarah besar yang ditulis di pulau lain.

 

Sekarang semua harus ikut SOP nasional, termasuk cara memperingati Hari Santri. Pakai template yang sama, narasi yang sama, simbol yang sama.

 

Saya tidak anti-standar, tapi kalau semuanya diseragamkan, maka keistimewaan Aceh hanya tinggal tulisan di undang-undang.

 

Padahal Aceh punya sejarahnya sendiri. Punya syariat sendiri. Punya ulama yang berdarah di jalan jihad. Punya masyarakat yang tidak hanya berdoa untuk kemerdekaan, tapi berperang untuk memperolehnya.

 

Kalau Aceh diminta ikut SOP Jawa, itu bukan kebinekaan, itu penyeragaman.

 

Pemerintah Aceh harus berani mengambil langkah. Bukan untuk bersaing, tapi untuk melengkapi. Jadikan tanggal 15 Oktober sebagai Hari Maklumat Perang Sabil Aceh. Peringati dengan tenang, dengan yakin, dengan marwah.

 

Bukan untuk menandingi Hari Santri Nasional, tapi untuk menegaskan bahwa Aceh punya bab sendiri dalam buku besar Republik ini. Bila pemerintah pusat benar-benar ingin menghormati keistimewaan Aceh, maka pengakuan sejarah ini adalah ujian kecil.

 

Tidak mahal, cukup dengan satu kalimat di naskah resmi Hari Santri, “Perlu dicatat bahwa Aceh telah lebih dahulu mengeluarkan Maklumat Perang Sabil pada 15 Oktober 1945.”

 

Selesai. Aceh dihormati. Sejarah diluruskan.

 

Dayah bukan hanya lembaga pendidikan, ia adalah DNA Aceh. Dari situlah lahir ulama-ulama besar. Mereka bukan hanya mengajar, tapi juga memimpin perang. Mereka tidak menulis resolusi di atas kertas, tapi di atas medan tempur.

 

Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Pante Kulu, Cut Nyak Dhien, mereka bukan aktivis. Mereka pejuang yang berakar dari ilmu. Itulah sebabnya Aceh bisa berdiri tegak berabad-abad melawan siapa pun yang datang membawa kapal dan bedil.

 

Dayah-dayah tua itu masih hidup, tapi pelajarannya mulai dilupakan. Anak muda Aceh sekarang lebih hafal nama influencer daripada ulama. Lebih sering mendengar motivator daripada teungku di meunasah.

 

Tulisan ini bukan amarah, ini peringatan. Karena sejarah yang dipelintir akan melahirkan generasi yang tidak tahu siapa dirinya.

 

Ulama Aceh tidak menuntut pangkat. Tidak menuntut monumen. Hanya ingin diingat sesuai tempatnya.

 

Aceh tidak minta lebih. Hanya minta setara.

 

Kalau pemerintah pusat ingin berbicara soal Islam Nusantara, jangan lupa bahwa Nusantara itu mulai dari barat, dari tanah di mana azan dikumandangkan lebih dulu.

 

Kita boleh punya banyak tanggal penting. Boleh banyak resolusi. Tapi jangan pernah lupa siapa yang menyalakan obor pertama.

 

Aceh tidak menuntut tepuk tangan. Tidak butuh plakat. Cukup diingat bahwa sebelum Resolusi Jihad bergema di Surabaya, semangat jihad sudah menyala di tanah rencong. Dan bara itu, sampai hari ini, masih menyala.

 

Hanya saja, mungkin kita terlalu sibuk menatap ke timur, sampai lupa cahaya di titik nol kilometer Indonesia dimulai di Sabang Aceh. (risalahbuyawoyla@gmail.com)

Penulis adalah Pengamat Bumoe Singet – Ketum DPP ISAD Terpilih – Wakil Pimpinan Dayah Darul Ihsan Abu Krueng Kalee.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *