Meulaboh — Bara kemarahan atas dominasi perusahaan tambang kembali menyala di Aceh. Kali ini, suara keras datang dari Ketua Laskar Panglima Nanggroe, Sulaiman Manaf, yang menyebut PT Mifa Bersaudara tak ubahnya penjajah gaya baru.
Ia tak segan menyebut perusahaan itu sebagai “Neo-VOC” — wajah modern dari kolonialisme ekonomi yang menjajah dengan legalitas, bukan bedil.
“Yang datang ke Aceh seharusnya tahu diri, tahu adat. Ini tanah kami, bukan tanah kosong yang bisa dijarah semena-mena. Kalau Mifa tak hormati hukum dan martabat pribumi, lebih baik angkat kaki dari sini! Kalau tidak, jalanan akan kami rebut kembali!” seru Sulaiman, penuh ledakan kemarahan, Selasa (1/6/2025).
Sulaiman menyebut apa yang terjadi saat ini sebagai tirani minoritas — segelintir pemilik modal yang berlindung di balik kemeja korporasi, namun bertindak bak raja kecil yang mengabaikan adat, hukum lokal, bahkan hak hidup rakyat.
Menurutnya, Aceh tak butuh investor yang membawa keserakahan dan menabur ketimpangan.
“Datang dengan modal besar, lalu lupa cara menghormati. Ini bukan zona bebas etika. Ini Aceh. Kami punya adat, kami punya harga diri,” katanya tajam.
Di sisi lain, drama kekuasaan lokal pun tak kalah panas. Bupati Aceh Barat, Tarmizi, SP, diduga dilaporkan ke polisi setelah memasang pamflet klaim aset daerah di sejumlah titik tanah dan bangunan milik pemerintah.
Langkah ini, menurut Tarmizi, adalah bentuk perlindungan terhadapPendapatan Asli Daerah (PAD) yang selama ini terancam oleh praktik liar pihak-pihak yang ingin menguasai aset daerah secara diam-diam.
“Ada upaya provokasi agar PAD kami hilang. Maka kami tempelkan pamflet di semua aset milik daerah, termasuk jalan dan fasilitas umum. Tapi yang terjadi, justru kami dilaporkan ke polisi. Inilah dinamika ketika kekuasaan bertabrakan dengan kepentingan,” kata Tarmizi dalam Musrenbang RPJMD 2025-2029 dan RKPD 2026 di Aula Bappeda, Kamis (26/6/2025).
Langkah berani Tarmizi memicu reaksi tajam. Ada yang menyebutnya langkah penyelamatan PAD, ada pula yang menganggapnya manuver politik menjelang tahun anggaran baru.
Namun, yang tak bisa diabaikan adalah fakta bahwa ketika daerah berjuang menyelamatkan asetnya sendiri, justru dikriminalisasi.
Pernyataan keras Sulaiman Manaf dan keberanian Tarmizi dalam mempertahankan PAD memperlihatkan satu hal: Aceh sedang dalam pusaran pertarungan besar antara kapital dan kedaulatan.
Pertanyaannya kini bukan sekadar siapa yang benar, tapi siapa yang berani berdiri di garis depan melawan arus kekuasaan yang makin tak kasat mata.
Sulaiman mengakhiri dengan ultimatum:
“Aceh bukan ladang rampokan. Kami siap pasang badan, jika tanah ini terus diinjak-injak oleh tamu yang lupa adat. Kalau pemerintah pusat diam, kami tidak akan tinggal diam.”