
BUSERSIAGA, COM
Sebelum kebijakan SPMB diterapkan, sistem penerimaan murid baru di Indonesia kerap diwarnai keluhan publik. Seperti praktik titip-menitip siswa, zonasi yang tidak adil, hingga lemahnya sosialisasi di tingkat sekolah. Ketidakseragaman pengelolaan dan kualitas aparatur pendidikan di daerah juga menyebabkan pelayanan publik di sektor pendidikan berjalan tidak merata; baik dari sisi transparansi, kompetensi, maupun kecepatan layanan.
Lingkup Pelayanan Publik
Pendidikan merupakan satu bentuk pelayanan publik yang paling mendasar dan berdampak jangka panjang untuk pembangunan nasional. Dalam konteks SPMB 2025, pelayanan publik di bidang pendidikan tidak hanya menyangkut proses administratif penerimaan murid baru, tetapi juga aspek governance, mulai dari transparansi informasi, partisipasi masyarakat, hingga akuntabilitas SDM yang terlibat.
Laporan Katadata Insight Center (2025) menunjukkan bahwa 59,4% masyarakat mendukung kebijakan SPMB berbasis prestasi akademik, tetapi lebih dari separuh (50,8%) masih mengeluhkan kendala teknis dan sosialisasi yang kurang memadai. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara desain kebijakan dan kualitas layanan publik di lapangan.
Reformasi pelayanan publik pendidikan melalui SPMB juga merefleksikan pergeseran paradigma: dari sekadar penyaluran siswa ke sekolah terdekat (sistem zonasi), menjadi sistem meritokratis yang menekankan kompetensi akademik dan transparansi proses. Namun, reformasi tersebut menuntut peningkatan profesionalisme SDM publik yang melaksanakan kebijakan, baik di tingkat dinas pendidikan maupun panitia sekolah.
Dalam teori Pelayanan Publik Baru (New Public Service) yang dikemukakan oleh Denhardt & Denhardt, pelayanan publik idealnya tidak hanya berorientasi pada efisiensi birokrasi, tetapi juga pada citizenship, yakni melayani warga sebagai mitra, bukan pelanggan semata.
Selain itu, pelayanan publik pendidikan juga harus memperhatikan konteks lokal dan kesetaraan akses. Temuan survei menunjukkan bahwa masyarakat di wilayah perkotaan lebih memahami sistem SPMB dibandingkan daerah pedesaan. Artinya, kualitas pelayanan publik masih sangat bergantung pada kapasitas SDM lokal dan dukungan infrastruktur digital. Reformasi pelayanan publik melalui SPMB hanya akan bermakna jika diiringi dengan pemerataan kompetensi aparatur dan sarana pendukung di seluruh wilayah.
Kriteria Pendidikan Berbasis Kepercayaan Publik
Kepercayaan publik (public trust) menjadi fondasi utama dalam keberhasilan setiap kebijakan publik, termasuk di sektor pendidikan. Sebab, keadilan sosial merupakan dimensi penting pelayanan publik yang menumbuhkan legitimasi dan kepercayaan masyarakat. Dalam konteks SPMB, kepercayaan publik dibangun melalui prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas proses penerimaan. Namun, laporan Katadata menunjukkan masih ada 28,3% responden yang menilai SPMB belum cukup transparan, terutama dalam hal pengumuman hasil seleksi dan mekanisme aduan.
Kriteria pendidikan yang dipercaya publik adalah yang mampu meminimalisasi ruang ketidakpastian. Hal ini mencakup tata kelola data yang terbuka, kanal pengaduan yang responsif, dan sikap pelayanan yang empatik dari aparatur sekolah. Kepercayaan publik hanya dapat tumbuh dari konsistensi perilaku birokrasi dalam memberikan layanan yang dapat diprediksi dan adil. Jika birokrasi pendidikan dapat menunjukkan integritas dan kompetensi dalam setiap tahapan SPMB, maka reformasi pelayanan publik akan memperoleh legitimasi sosial yang kuat.
Di sisi lain, kepercayaan publik juga bergantung pada persepsi masyarakat terhadap nilai manfaat kebijakan. Ketika masyarakat melihat bahwa sistem SPMB mampu menempatkan anak sesuai kemampuan akademik tanpa intervensi nonteknis, maka tingkat kepuasan publik akan meningkat.
Birokrasi Pendidikan yang Ideal
Birokrasi pendidikan yang ideal adalah birokrasi yang adaptif, partisipatif, dan berorientasi pada hasil pembelajaran, bukan sekadar kepatuhan administratif. Dalam konteks SPMB, birokrasi pendidikan ideal berarti mampu menyeimbangkan peran antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola sistem seleksi siswa secara terintegrasi.
Temuan survei Katadata mengindikasikan bahwa masyarakat lebih mengenal peran pemerintah pusat dalam kebijakan SPMB dibandingkan pemerintah daerah, menunjukan lemahnya komunikasi dan kapasitas implementatif di tingkat lokal.
Maka diperlukan upaya meningkatkan kuantitas memperkuat pelatihan teknis bagi panitia SPMB, meningkatkan literasi digital ASN di bidang pendidikan, serta mendorong evaluasi berbasis kinerja dalam setiap proses rekrutmen dan seleksi murid. SDM publik yang berkompeten tidak hanya menjalankan regulasi, tetapi juga mampu menafsirkan nilai-nilai publik dalam kebijakan SPMB.
Sehingga, reformasi birokrasi pendidikan melalui SPMB dapat menjadi momentum untuk menata ulang hubungan antara negara dan warga dalam pelayanan publik. Sistem yang transparan dan akuntabel akan memperkuat kepercayaan sosial; sebaliknya, birokrasi yang kaku dan tertutup hanya akan memperlebar jarak antara kebijakan dan realitas ( Red)
