Jateng.Cucu Sultan Aceh yang juga pemimpin Darud Donya Aceh Darussalam Cut Putri berziarah ke makam pahlawan wanita ternama dari Aceh Pocut Meurah Intan.
Pocut Meurah Intan atau Pocut Di Biheu dimakamkan di Blora Jawa Tengah. Sama seperti Cut Nyak Dhien yang dimakamkan di Sumedang Jawa Barat, kedua pahlawan wanita ternama ini dibuang Belanda keluar Aceh, karena Belanda ketakutan mengingat kedua tokoh ini mempunyai banyak pengikut di Aceh.
Pocut Meurah Intan adalah seorang anak Uleebalang atau Hulubalang di Biheu Pidie. Biheu adalah sebuah kawasan peradaban lama bahkan sebelum Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530 M) menyatukan Kesultanan Aceh Darussalam. Menurut catatan penjelajah asing Tomes Pires pernah menyebutkan kerajaan di Aceh meliputi Lamuri, Bihar (Biheu), Pedir, dan lain-lain.
Sejak penyatuan Kesultanan Aceh Darussalam, kawasan Bihar atau Biheu diperintah langsung oleh Uleebalang Aceh. Pocut Meurah Intan lahir dari keluarga Uleebalang ternama yang sangat dihormati.
Pocut Meurah Intan menikah dengan keluarga Kerajaan Aceh. Suami Pocut Meurah Intan atau Pocut Di Biheu adalah Tuwanku Pangeran Abdul Majid Bin Tuwanku Pangeran Abbas Bin Sultan Jauhar Alam Syah (1795-1823 M). Tuwanku Abdul Majid adalah pembesar kesultanan yang mengurus hal perdagangan di Pelabuhan Kuala Batee Pidie.
Pada saat meletusnya Perang Aceh, Tuwanku Pangeran Abdul Majid dan istrinya Pocut Di Biheu melawan Belanda habis-habisan. Tuwanku Pangeran Abdul Majid sangat ditakuti Belanda, karena dengan kapalnya, Tuwanku Pangeran Abdul Majid sering menyerang kapal-kapal Belanda, sehingga Belanda sangat membencinya. Tuwanku Pangeran Abdul Majid dicap Belanda sebagai “Zeerover” yakni perompak laut.
Ketika Belanda sudah meningkatkan kekuatan tempurnya, karena kalah dalam teknologi akhirnya Tuwanku Abdul Majid dikalahkan Belanda. Pocut Di Biheu meneruskan perlawanan di Biheu dan Padang Tiji Pidie.
Dalam ekspedisi Perang Belanda tahun 1898 M ke Pidie, Belanda berhasil menghancurkan Istana Kuta Keumala Dalam di Keumala Pidie, namun gagal menangkap tokoh Aceh.
“Saat itu Istana Darud Donya di ibukota telah dikuasai Belanda”, terang Pemimpin Darud Donya Cut Putri.
Atas bantuan jasa dari mata-mata Snouck Hurgronje atau yang dikenal dengan Habib Puteh, akhirnya persembunyian para Uleebalang Pidie berhasil diketahui, dan para Uleebalang Pidie langsung ditangkap. Hanya beberapa Uleebalang Pidie yang tidak berhasil ditangkap atau meloloskan diri, yang kemudian melanjutkan perlawanan kembali.
Pocut Di Biheu memutuskan melakukan perlawanan terbuka. Dalam pertempuran dahsyat di Padang Tiji 1900 M, Pocut Di Biheu terluka parah sehingga mengalami cacat permanen, dan menjadi pincang, namun Pocut terus menggelorakan perjuangan.
Sampai kemudian Belanda berhasil menangkap Pocut Meurah Intan, yang ditangkap bersama anak-anaknya yang kesemuanya juga merupakan para pejuang yang ditakuti Belanda.
Namun bara perlawanan tidak padam. Api amarah terus mengalir dalam nadinya. Kebencian kepada Belanda tidak hilang sedikitpun. Bagi Pocut, Kafir Belanda tetap merupakan penjajah yang telah membunuh rakyat Aceh dan membumihanguskan tanah air tercintanya, Aceh Darussalam.
Tepatlah Hikayat Aceh menggambarkan jiwa kepahlawanan para pahlawan wanita Aceh:
Oek ka puteh ban bungong meulue,
Mata geuh hue sue meutaga
(Walau rambut sudah putih bagaikan bunga Melur,
Namun suaranya mengguntur matanya merah membara)
Karena dianggap terlalu berbahaya di Kutaraja Bandar Aceh, apalagi Pocut banyak pengikut, akhirnya Pocut Di Biheu dipindahkan penahanannya oleh Belanda ke Blora Jawa Tengah.
Pocut bersama dua anaknya yakni Tuwanku Nurdin dan Tuwanku Budiman diasingkan ke Blora. Sementara satu anak Pocut, Tuwanku Muhammad telah dibuang ke Tondano Sulawesi Utara sebelumnya pada tahun 1900.
Pocut Di Biheu akhirnya kembali ke rahmatullah pada 19 September 1937 M atau bersamaan dengan 14 Rajab 1356 Tahun Hijrah.
“Tahun ini 19 September 2024 tepat 87 tahun wafatnya perempuan mulia ini. Mari kita kirimkan do’a untuk mereka, para pahlawan Bangsa Aceh”, kata Cut Putri.
Pocut Meurah Intan dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga bangsawan Prabu Brawijaya V, yang terletak di kawasan yang tinggi, sejuk dan tenang di Blora.
Cut Putri juga berterima kasih kepada keluarga besar Prabu Brawijaya V dan seluruh keluarga besar Kerajaan Mataram, yang telah mendampingi dan menyambut selama kunjungan keluarga Kesultanan Aceh Darussalam di Jawa Tengah.
“Kisah kepahlawanan Pocut Meurah Intan adalah sebuah keteladanan. Tentang keberanian, keteguhan dan kepahlawanan wanita Aceh dalam mempertahankan Aceh dan Islam dari Imperialisme Barat”, ujar Cut Putri Pemimpin Darud Donya.
Selama ratusan tahun, kuatnya adat dan tradisi Islam di Aceh, membuat para perempuan Aceh telah ditanamkan karakter agamis dan patriotisme semenjak dini.
Oleh karena itu Cut Putri berharap agar Rakyat Aceh terus mempertahankan adat istiadat dan tradisinya, serta mempelajari sejarah Bangsa Aceh yang sarat akan nilai-nilai keislaman.
Ia juga berharap agar Aceh Tanah Rencong akan terus melahirkan para pahlawan perempuan cerdas tangguh bermental baja, yang berjiwa patriotik, gigih, tulus dan rela berkorban demi agama, bangsa dan negara.
“Di balik kehalusan budi dan kelemahlembutan perempuan Aceh tersimpan kekuatan dan keteguhan mental. Jiwa baja sebagaimana dimiliki oleh kaum lelaki Aceh. Bagi wanita Aceh, memanggul senjata dan memimpin perang melawan penjajah bukanlah hal aneh”, tutur Cut Putri.
Wanita Aceh digambarkan oleh H. C. Zentgraaff dalam satu kalimat singkat sebagai “de leidster hetverzet” (pemimpin perlawanan), dan “grandes dames” (perempuan-perempuan besar). Wanita Aceh digambarkan sebagai patriot yang gagah dan berani, yang berjuang dengan jiwa dan raga.
Dalam bukunya yang berjudul “Atjeh”, Zentgraaff mengatakan bahwa:
“Tidak ada bangsa yang pemberani perang serta fanatik melebihi Bangsa Aceh. Perempuan Aceh, melebihi kaum perempuan bangsa-bangsa yang lainnya dalam hal keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh, yang sudah dikenal sebagai laki-laki yang pemberani dan tidak takut mati dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka. ( Zentgraaff, 1983: 95).
“Teruslah kobarkan semangat perjuangan! Masa akan berganti, namun kepahlawanan dan keberanian akan tetap dikenang sepanjang masa!”, pesan Cucu Sultan Aceh ini, yang terkenal hingga seluruh dunia atas kegigihan dan keberaniannya, yang secara heroik merekam peristiwa besar tsunami Aceh tahun 2004.