BUSERSIAGA, COM Banda Aceh-Media Tipikor Praperadilan terhadap Polresta Banda Aceh atas penetapan empat mahasiswa demonstran sebagai tersangka ujaran kebencian telah berakhir pada Selasa, 18 Februari 2025. Hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh, Jamaludin, S.H., M.H., dalam putusannya menolak seluruh permohonan yang diajukan LBH Banda Aceh sebagai kuasa hukum empat mahasiswa demonstran. Perkara praperadilan yang terdaftar dengan Nomor: 2/Pid.pra/2025/PN Bna ini menyoal terkait penangkapan, penetapan tersangka, serta penyitaan gawai mahasiswa demonstran oleh Polresta Banda Aceh yang bertentangan dengan hukum dan melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Dalam perkara ini, LBH Banda Aceh memohon pengadilan untuk menyatakan tidak sah penetapan tersangka terhadap para mahasiswa. Hal ini dikarenakan Polresta Banda Aceh baru menyampaikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada para mahasiswa pada tanggal 2 Desember 2024. Padahal Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) telah diterbitkan jauh hari sebelumnya pada tanggal 30 Agustus 2024. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 14 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019 jo. Putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017, SPDP wajib diserahkan kepada terlapor paling lama 7 hari setelah Sprindik diterbitkan.
Hal tersebut jelas-jelas menunjukkan Polresta Banda Aceh telah melanggar kewajibannya, sehingga penetapan tersangka menjadi tidak sah. Akan tetapi dalam menentukan apakah Polresta Banda Aceh telah melaksanakan kewajiban penyerahan SPDP, hakim hanya mengacu pada tanggal penerbitan, bukan pada tanggal penyerahan, sehingga hakim menolak permohonan tersebut. Dengan pertimbangan sesat ini, Hakim Jamaludin telah menepis kewajiban polisi untuk menyerahkan SPDP kepada orang yang menjadi terlapor atau tersangka. Padahal ketentuan batas waktu penyerahan SPDP ini dimaksudkan untuk menjamin hak orang yang menjadi terlapor atau tersangka agar dapat mempersiapkan pembelaannya, sehingga yang seharusnya dijadikan dasar pertimbangan adalah tanggal penyerahan, bukan tanggal penerbitan.
LBH Banda Aceh juga memohon agar pengadilan menyatakan penangkapan terhadap mahasiswa tidak sah karena dilakukan dengan melebihi jangka waktu penangkapan selama 1 x 24 jam sebagaimana diatur Pasal 19 ayat (1) KUHAP. Namun Hakim Jamaludin menolak permohonan ini dengan alasan mahasiswa yang ditangkap berasal dari luar Banda Aceh, sehingga penangkapan boleh dilakukan lebih dari jangka waktu yang ditetapkan KUHAP. Pertimbangan Hakim Jamaludin ini telah menabrak ketentuan KUHAP dan mengancam hak asasi seseorang untuk tidak ditangkap secara sewenang-wenang. Padahal KUHAP telah menentukan secara limitatif batas waktu penangkapan hanya boleh dilakukan untuk jangka waktu satu hari. Lewat dari batas waktu itu, orang yang ditangkap demi hukum harus dibebaskan, terlepas di mana tempat tinggalnya.
Selanjutnya, LBH Banda Aceh juga memohon agar pengadilan menyatakan tidak sah penyitaan gawai milik mahasiswa. Hal ini dikarenakan penyitaan tersebut dilakukan tanpa izin sita dari Ketua Pengadilan Negeri Banda Aceh. Namun hakim menolak permohonan ini, karena menurutnya pengambilan paksa gawai milik mahasiswa oleh Polresta Banda Aceh tidak termasuk dalam upaya paksa sita sebagaimana diatur dalam hukum acara pidana. Pertimbangan putusan ini sangat berbahaya karena polisi dibolehkan untuk mengambil barang milik orang lain secara paksa tanpa melalui mekanisme sita. Padahal mekanisme dan syarat formil sita yang ditentukan dalam hukum acara pidana ditujukan untuk mengontrol agar pengambilan paksa barang milik orang lain tidak dilakukan secara sewenang-wenang oleh pihak kepolisian. Salah satunya adalah dengan mensyaratkan adanya izin sita dari ketua pengadilan negeri.
Jika pengambilan paksa yang dilakukan pihak kepolisian tidak dianggap sebagai upaya penyitaan, maka pengambilan paksa itu tidak terikat dengan syarat formil yang diatur dalam hukum acara pidana. Hal itu mengakibatkan sistem peradilan pidana tidak dapat mengontrol pengambilan paksa yang dilakukan pihak kepolisian terhadap barang milik masyarakat, sehingga cenderung disalahgunakan.
Semua pertimbangan Hakim Jamaludin dalam putusan tersebut sama sekali tidak mengindahkan hukum serta mengesampingkan alat bukti dan fakta-fakta persidangan. Hal itu akan berdampak pada kian tergerusnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan, dalam hal ini Pengadilan Negeri Banda Aceh. Pengadilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir pencari keadilan kini menjelma menjadi alat pembenar bagi kesewenang-wenangan penegak hukum. Putusan ini merupakan preseden buruk bagi tegaknya negara hukum dan demokrasi di Indonesia.
Atas kerancuan-kerancuan dan sesat pikir Hakim Jamaludin dalam perkara ini, LBH Banda Aceh selaku kuasa hukum bersama dengan Organisasi Masyarakat Sipil Aceh yang terdiri dari ACSTF, AJI Banda Aceh, Koalisi NGO HAM, KontraS Aceh, dan MaTA, yang sedari awal memantau proses praperadilan ini akan melaporkan Hakim Jamaludin ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Kami meminta agar Hakim Jamaludin diperiksa, karena bukan tidak mungkin terdapat pelanggaran kode etik dan hukum di balik putusannya yang sesat itu. ( Tim )