PTN-BH: Otonomi Pendidikan Dan Bukan Otonomi Keuangan

Opini110 Dilihat

Oleh :
T.M. Jamil
Associate Profesor
Social Scintiest, USK, Banda Aceh.

TAK DAPAT dipungkiri bahwa sebahagian kecil mahasiswa serta Civitas Akademika yang peduli dan sejumlah elemen yang telah bahu membahu memperjuangkan penolakan terhadap Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU-BHP), saat itu Kita patut bersyukur karena satu tahap perjuangan sudah membuahkan hasil yang menggembirakan. Putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret 2010, menolak keberadaan UU-BHP. Sebuah keputusan dipandang oleh banyak kalangan yang cukup memenuhi rasa keadilan dan berpihak kepada rakyat sebagai pemilik negara ini. Alasan utama ditolaknya UU-BHP bukan hanya karena banyaknya pasal-pasal yang bermasalah, mealinkan UU-BHP pun bertentangan dengan amanah konstitusi UUD 1945 Sebagai Panduan Kita Berbangsa dan Bernegara.

Liberalisasi pendidikan adalah upaya “pembebasan” lembaga atau badan pendidikan agar dapat bersaing lebih terbuka dalam pasar global. Liberalisasi menempatkan pendidikan layaknya komoditas dagang yang selayaknya mampu bersaing dengan komoditas lain. Titik tekannya ada pada intervensi lembaga atau manajemen organisasi dan pola pengelolaan keuangan. Padahal, hakekat pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pernyataan ini terpatri kuat dalam preambule Undang-undang Dasar 1945, konstitusi negara kita Indonesia.

Penolakan UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi (MK) memunculkan beragam reaksi. Semisal PTN yang telah mempersiapkan diri untuk merubah status menjadi BHP lewat Badan Layanan Umum (BLU). PTN yang sudah ber-BLU tetap “bersikukuh” untuk bermetamorfosis menjadi BLU. Padahal, Logikanya ketika UU-BHP ditolak, maka sudah seharusnya BLU juga tidak diteruskan. Namun, yang terjadi malah BLU jalan terus. Sebagai bangsa dan anak negeri yang baik, kita hanya bisa menerima dalam kepasrahan. Kita hanya berharap tidak bertambah luka di atas luka. Argumen yang sering dikemukakan, dengan BLU pihak PTN akan lebih mudah mengelola keuangan yang masuk, tanpa harus masuk ke kas negara.

PTN dapat mengelola uang pendapatannya untuk keperluan operasional secara langsung, tanpa harus membuat proposal pengajuan terlebih dahulu. Fleksibilitas dan otonomi keuangan PTN. Apakah sesederhana itu? Persoalannya sekarang, apakah solusi masalah pendidikan hanya bermuara pada masalah keuangan saja. Bisa jadi dengan BLU menjadi akar munculnya masalah-masalah baru di Perguruan Tinggi Negeri. Pertanyaan sederhana, sudah siapkah kita untuk menyambut BLU itu?. Dengan Sistem BLU – Perguruan Tinggi Negeri Wajib Mencari Berbagai Sumber Dana Sendiri agar mampu bernafas dengan Baik. (MAAF, Tulisan ini TIDAK dimaksudkan untuk menilai atau ‘menghakimi’ bahwa saya tidak memberikan apresiasi dan mendukung BLU itu. Bagi saya, semua kebijakan itu akan baik dan bermanfaat – jika telah dipikirkan, dipertimbangkan dan diputuskan secara bersama, arif dan cerdas. Semoga keputusan dan pilihan kita membawa berkah dan rahmat untuk umat).

Kita memang, sebagai bangsa yang aneh dan tak pernah konsisten. Dahulu banyak Perguruan Tinggi Swasta (PTS) berlomba-lomba untuk melakukan dan berusaha untuk menjadi PTN. Lalu dari PTN Satker dengan bermacam cara dilakukan agar menjadi PTN-BLU. Setelah Menjadi PTN-BLU terus berpacu untuk menjadi PTN-BH yang bermakna Full Otonomi. Nah, apa yang kemudian terjadi banyak PTN-BH mengalami kesulitan keuangan untuk menjalankan aktivitasnya. Nah, apakah dengan kondisi seperti itu, bukankah kita kembali seperti PTS lagi? Inilah yang saya sebut kita manusia aneh dan tak konsisten.

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) baik yang berstatus BHMN maupun yang berstatus Universitas Negeri agaknya akan ramai-ramai menjadi BLU. Sebuah pilihan yang ironis, sebuah lembaga pendidikan yang secara hukum tidak berpijak pada UU pendidikan, tapi UU perbendaharaan negara yang secara substansial berlawanan dengan Undang-undang yang lainnya sebagaimana dijelaskan di atas. Tapi sudahlah – biarkan saja itu menjadi bahan kajian para pakar ilmu hukum yang cerdas, dan arif.

Persoalannya kemudian adalah ketika Universitas Negeri menjadi BLU apakah sesuai dengan ruh pendidikan nasional? Dalam konsepsi pendidikan nasional sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003 bahwa negara memiliki tanggungjawab khusus atas penyelenggaraan pendidikan nasional, wujud konkrit dari tanggungjawab khusus tersebut adalah antara lain adanya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan sekolah-sekolah negeri. Jika Universitas Negeri menjadi BLU maka status negeri itu menjadi tidak utuh, negara melepaskan sebagian tanggungjawabnya terhadap dunia pendidikan. Dalam bahasa lain BLU adalah wajah setengah hati Negara dalam berpihak pada dunia pendidikan. Efek lanjut dari status BLU Universitas adalah keleluasaan Universitas mengelola keuangan (otonomi keuangan). Ketika otonomi keuangan ini dijalankan, secara otomatis kebijakan pendapatan seutuhnya dilakukan kampus.

Upaya memperoleh pendapatan kampus yang paling mudah adalah dari penarikan Dana SPP mahasiswa, karenanya kenaikan SPP dengan persentase yang relatif besar adalah sebuah keniscayaan. Di sisi lain BLU bertanggungjawab untuk menyajikan layanan yang diminta, dengan kata lain PTN yang menjadi BLU akan mengelola pendidikan layaknya seperti sebuah perusahaan.

Hal ini bermakna BLU adalah upaya mewiraswastakan pemerintah (enterprising government). Apakah Perguruan Tinggi, telah siap untuk itu? Semoga saja. Sementara itu, Meskipun BLU dibentuk tidak untuk mencari keuntungan, akan tetapi letak enterprising-nya dapat dilihat pada pasal 69 ayat (6) bahwa pendapatan BLU dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan. Pendapatan yang dimaksud itu dapat diperoleh dari hibah, sumbangan, atau sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan. Ketika lembaga pendidikan sudah berubah fungsi menjadi “perusahaan” ini bertentangan dengan konsepsi pendidikan yang dikemukakan oleh Bapak Pendidikan kita Ki Hajar Dewantara.

Pendidikan merupakan usaha kebudayaan (bukan perusahaan komersial) yang bermaksud membimbing hidup dan tumbuh kembangnya jiwa raga anak didik agar melalui garis kodrat pribadinya dan pengaruh lingkungannya, peserta didik mengalami kemajuan lahir dan batin. Dengan perubahan lembaga pendidikan menjadi BLU maka tugas lembaga pendidikan untuk mendidik dan menanamkan nilai-nilai agar menghasilkan manusia yang berbudaya akan mengalami hambatan serius karena terkontaminasi kepentingan modal perusahaan.Insya Allah kondisi seperti ini tidak akan pernah terjadi di sekitar kita. Semoga Pendidikan di daerah kita dapat menghasilkan manusia cerdas dan memiliki nilai-nilai humanis yang tinggi.

Banyak jalan menuju otonomi, langkah tergesa-gesa banyaknya lembaga pendidikan tinggi untuk menuju fully otonom, agak mengkhawatirkan. Jika yang dimaksud adalah otonomi akademik, maka kita selaku masyarakat kampus sangat mendukung penuh, namun jika yang dimaksud otonomi keuangan di mana kampus harus mencari dana sendiri, padahal kampus negeri ini adalah amanah konstitusi sebagai tanggungjawab khusus negara, maka otonomi ini kehilangan akar historis dan akar konstitusinya. Ada semacam bias ontologis dari identitas universitas negeri. Silakan untuk berpikir, dan berargumen yang santun. Jangan buru-buru dan sinis, malah melahirkan sikap sentimen dari pernyataan ini. Bagaimana pula dengan BOPTN yang diterima Perguruan Tinggi selama ini Jika sudah BLU/PTN-BH?

BOPTN adalah kependekan dari Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri yaitu semacam bantuan dana untuk perguruan tinggi negeri yang sistemnya hampir sama dengan BOS di tingkat SD sampai SMA. Pada rembuk Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2013 pada tanggal 12 februari 2013 silam, Pemberlakuan Bantuan Operasional Perguruan Tinggi (BOPTN) sebagai amanat pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) menjadi topik utama yang dibahas. Kabarnya BOPTN ini akan mulai diterapkan di tahun ini. BOPTN ini akan sangat membantu mahasiswa baru kelak karena dengan adanya BOPTN ini akan membuat Mahasiswa baru cukup membayar uang SPP saja, tanpa biaya lainnya.

Selain itu, BOPTN juga akan menumbuhkembangkan penelitian di perguruan tinggi. BOPTN akan menganggarkan 30% untuk penelitian. Dana tersebut dapat digunakan untuk PTN dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Nantinya Biaya Kuliah Tunggal akan terdiri dari BOPTN dan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Dengan BOPTN, sebagian besar biaya operasional perguruan tinggi tidak lagi menjadi beban mahasiswa.

Untuk diketahui sudah ada sebanyak 21 kampus atau universitas negeri telah memperoleh status badan hukum atau PTN-BH. Berikut daftar kampus PTN-BH di Indonesia. Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum atau PTN-BH adalah perguruan tinggi yang didirikan pemerintah dengan status sebagai badan hukum publik dan diberikan hak otonom.

Dengan hak otonom tersebut, PTN-BH bebas mengelola perguruan tingginya sendiri secara independen, baik akademik dan nonakademik, termasuk pada aspek pengelolaan keuangannya. PTN-BH bisa dikatakan sebagai tingkat teratas status universitas di Indonesia.

Mengutip laman Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi, universitas yang termasuk dalam kategori PTN-BH secara bertahap akan memperoleh dana abadi perguruan tinggi.

Dana abadi tersebut bertujuan untuk mewujudkan perguruan tinggi kelas dunia dan mendorong PTN lain yang belum menjadi PTN-BH dapat segera mengikuti.

Terbaru, sebanyak lima universitas negeri telah ditetapkan menjadi PTN-BH melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober 2022. Lima universitas tersebut yakni, 1. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), 2. Universitas Negeri Semarang (Unnes), 3. Universitas Negeri Surabaya (Unesa), 4. Universitas Syiah Kuala (USK), dan 5. Universitas Terbuka (UT).

Dengan penambahan lima kampus tersebut, kini tercatat sebanyak 21 perguruan tinggi di Indonesia sudah berstatus sebagai PTN-BH.

Berikut daftar kampus yang telah resmi statusnya menjadi PTN-BH 2022.

  1. Universitas Indonesia (UI)
  2. Institut Teknologi Bandung (ITB)
  3. Institut Pertanian Bogor (IPB)
  4. Universitas Gadjah Mada (UGM)
  5. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
  6. Universitas Padjadjaran (Unpad)
  7. Universitas Diponegoro (Undip)
  8. Universitas Airlangga (Unair)
  9. Universitas Brawijaya (UB)
  10. Universitas Sumatera Utara (USU)
  11. Universitas Hasanuddin (Unhas)
  12. Universitas Sebelas Maret (UNS)
  13. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
  14. Universitas Negeri Malang (UM)
  15. Universitas Andalas (Unand)
  16. Universitas Negeri Padang (UNP)
  17. Universitas Negeri Semarang (Unnes)
  18. Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
    19. Universitas Syiah Kuala (USK)
  19. Universitas Terbuka (UT)
  20. Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).

Selanjutnya, Otonomi pendidikan dimaknai pemerintah sebagai upaya negara untuk memberi kebebasan pada instansi pendidikan, agar lebih mudah dalam mengatur manajeman, baik keuangan maupun akademik. Makna otonomi yang demikian itu bisa menjadi “bumerang” ketika lembaga pendidikan negeri juga disibukkan dengan urusan untuk mencari dana layaknya sebuah perusahaan. Otonomi pendidikan PTN seharusnya dimaknai sebagai otonomi akademik, otonomi research, otonomi pemikiran, otonomi gagasan dan otonomi pengelolaan – yang pada akhirnya memberi manfaat besar bagi pendidikan dan bangsa Indonesia secara lebih luas, sehingga tidak kehilangan ruh pendidikan nasionalnya.

Soal keuangan biarlah sebagian besar ditanggung negara dan sebagian kecil ditanggung masyarakat melalui Dana SPP mahasiswa karena PTN adalah milik negara apalagi jelas-jelas menyebutkan identitasnya sebagai Universitas Negeri. Pertanyaan kita dengan anggaran pendidikan 20% itu, Berapa banyak sih PTN di Negara Indonesia yang dapat dibiayai?. Lebih khusus lagi berapa banyak PTN yang ada di Ibukota Negara dan di berbagai wilayah di Indonesia, sehingga Pemerintah begitu berat mengeluarkan dana untuk anak-anak bangsa yang ingin mengenyam pendidikan tinggi di negeri ini?. Semoga saja kita berharap dan berdo’a bahwa Pemerintah tidaklah bermaksud untuk melepaskan tangan dan tanggung jawab dalam membayai untuk mendidik anak-anak negeri ini dengan melahirkan berbagai kebijakan yang acapkali kurang populis – sehingga kehidupan masyarakat semakin tersiksa dan menderita. Belum lagi kebijakan Perguruan Tinggi dengan “Sistem Manajemen Terkejut,” seringkali menjadi masalah dalam hal keuangan atau pembayaran gaji, tunjangan dan lainnya untuk Civitas Akademika. Akhirnya, izinkan kami untuk bertanya : Masihkah “Warga Kampus” yang selalu sukses dalam mendidik orang lain, namun gagal ketika mendidik dirinya sendiri? Wallahu ‘Aklam Bisshawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *