PT Rambong Meuagam Diduga Serobot Lahan Pesantren, Gubernur Aceh Diminta Bertindak Tegas

Blog1 Dilihat

 

BUSERSIAGA, COM Bireuen, 29 April 2025 — Aroma ketidakadilan kembali menyeruak dari jantung pertanian Aceh. PT Rambong Meuagam, sebuah perusahaan perkebunan swasta, diduga melakukan penyerobotan atas lahan seluas 183 hektar milik Yayasan Dayah Abu Tanoh Mirah di Gampong Blang Mane, Kecamatan Peusangan Selatan, Kabupaten Bireuen. Tanah yang sejak 1997 dikelola untuk pendidikan dan pemberdayaan umat itu kini berubah menjadi medan konflik agraria yang memprihatinkan.

 

Dengan mengklaim Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 05/HGU/BPN.11/2016, PT Rambong Meuagam tetap melakukan aktivitas operasional meskipun kepemilikan lahan tengah disengketakan secara hukum. Aksi sepihak ini telah dilaporkan ke Polres Bireuen, namun hingga kini belum tampak tanda-tanda penegakan hukum yang tegas.

 

Gubernur Ditantang Ambil Sikap

 

Ketua Tim Kuasa Hukum Yayasan, Azhari, Sy., M.H., CPM, dalam pernyataan resmi meminta Gubernur Aceh, H. Muzakir Manaf, segera menghentikan operasional perusahaan di lahan sengketa. Ia memperingatkan bahwa pembiaran terhadap aktivitas perusahaan di atas tanah pesantren berisiko memicu konflik horizontal di tengah masyarakat.

 

“Ini bukan sekadar soal tanah. Ini tentang martabat pesantren, tentang hak pendidikan umat yang diinjak-injak oleh kekuatan modal,” ujarnya tegas.

 

Tudingan Mafia Tanah dan Tuntutan Keadilan

 

Yayasan menyebut, akibat ulah PT Rambong Meuagam, program kemandirian santri terhenti, kebun pesantren tak lagi produktif, dan kehidupan sosial masyarakat sekitar terganggu. Mereka mendesak agar negara tidak diam dan segera menindak tegas dugaan praktik mafia tanah yang menjangkiti sektor HGU di Aceh.

 

Tak hanya menuntut penghentian operasional, Yayasan juga mendesak pencabutan HGU perusahaan tersebut oleh Menteri ATR/BPN, serta pemulihan hak atas lahan untuk kepentingan pendidikan Islam yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

 

Ujian Serius bagi Pemerintah Aceh

 

Kasus ini menjadi ujian integritas Pemerintah Aceh dan aparat penegak hukum dalam menegakkan keadilan agraria. Di tengah gelombang keprihatinan masyarakat terhadap maraknya konflik lahan, ketegasan Gubernur Aceh ditunggu sebagai sinyal komitmen dalam melindungi hak lembaga pendidikan rakyat.

 

Jika negara terus membiarkan korporasi menguasai tanah dengan cara-cara yang merugikan rakyat kecil, maka konflik serupa akan terus berulang, menyisakan luka sosial dan ekonomi yang dalam.

 

“Negara harus memilih: berpihak pada rakyat atau tunduk pada kekuasaan modal,” pungkas Azhari..( red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *