Aceh Timur.Kordinator Front Anti Kejahatan Sosial ( FAKSI ) Aceh, Ronny H, menilai komitmen dan perhatian para pejabat, terutama Pj Bupati Aceh Timur terhadap isu HAM sangat minim, bahkan nihil.
Hal itu ditandai abainya para pejabat daerah tersebut terhadap hari HAM sedunia yang mestinya di peringati setiap 10 desember 2022.
Bahkan hingga detik ini, tidak terlihat sama sekali adanya pidato Pj bupati atau tanda – tanda digelarnya kegiatan pemerintah daerah untuk memperingati hari HAM yang sangat besar artinya dalam sejarah peradaban manusia itu, apalagi berkaitan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta harkat dan martabat kemanusiaan tersebut.
Padahal, biasanya Aceh Timur selalu memperingati setiap agenda resmi apapun serta perayaan hari – hari besar atau hari bersejarah lainnya dengan berhamburan anggaran negara yang melimpah ruah dengan melibatkan ribuan pegawai serta pihak terkait lainnya.
” Ini bukti nyata, pejabat kita terkesan tidak peduli HAM, buktinya, jangankan kegiatan memperingati hari HAM sedunia, pesan atau pidato Pj bupati atau dewan tentang hari HAM secuil pun tak ada, apakah mereka tidak menghormati HAM atau anti HAM? kenapa hari – hari besar lainnya diperingati, tapi ini tidak pernah bahkan terkesan dianggap tak ada? ” kata Ronny, 11 Desember 2022.
Menurut Ronny, penghormatan terhadap HAM sangatlah penting diperhatikan oleh seluruh pejabat negara, sebagai bentuk komitmen serta penghormatan mereka pada harkat dan martabat manusia, terutama sebagai komitmen untuk upaya memajukan pemenuhan Hak Asasi Manusia untuk semua, khususnya bagi warga Aceh Timur.
” Coba lihat buktinya, jangankan memperingati hari HAM, menyampaikan sedikit pesan – pesan tentang HAM saja tak ada, mungkin ingat pun tidak mereka, bahkan sudah diingatkan pun tak peduli, gimana mau edukasi masyarakat, apalagi bila ditanya komitmen mereka untuk menyelesaikan kasus – kasus pelanggaran HAM? ini bukti bahwa di Aceh Timur, HAM dianggap sama sekali tidak penting dibanding proyek yang menggiurkan,” ketus aktivis HAM Aceh itu.
Putera Idi Rayeuk itu menyatakan bahwa sikap apatis tersebut sangat mencerminkan ketidakberpihakan para pejabat di Aceh Timur terhadap HAM, yang tentunya dinilai sangat membahayakan kondisi demokrasi serta nasib masyarakat, terutama mungkin korban pelanggaran HAM.
” Ada puluhan bahkan ratusan pejabat Aceh Timur, coba tunjukkan mana yang bicara HAM ? ini tentunya akibat rendahnya kesadaran mereka tentang arti pentingnya HAM tersebut, padahal itu merupakan pedoman dasar bagi pengabdian mereka, yaitu memajukan pemenuhan HAM bagi setiap orang,” ujarnya.
” Ini gimana nasibnya korban pelanggaran HAM, kalau pejabatnya aja enggak tahu apa – apa, enggak peduli sama sekali, mungkin dikira persoalan HAM ini persoalan ecek – ecek yang enggak perlu dipikirin, padahal korban pelanggaran HAM mungkin banyak tersebar di Aceh Timur ini, baik masa lalu maupun masa kini,” ungkap Ketua Forum Pers Independent Indonesia (FPII) Provinsi Aceh itu.
Ronny mengingatkan mestinya peningkatan kualitas pemenuhan hak asasi manusia harus menjadi basis nilai utama bagi para pejabat pembuat kebijakan serta menjadi pedoman serta tolak ukur bagi pengabdiannya kepada masyarakat, sehingga hal itu tidak boleh dipandang sebelah mata apalagi diabaikan.
” Peningkatan kualitas pemenuhan HAM itu harusnya menjadi basis pemikiran utama para pejabat tersebut, mereka harus mikir bagaimana meningkatkan pemenuhan HAM bagi seluruh masyarakat di Aceh Timur, karena masyarakat dunia sudah menstandarkan ini sebagai ukuran serta basis bagi kualitas kemajuan nilai – nilai kemanusiaan, ini pejabat kita jangankan bicara itu, malah cuek bebek seolah sengaja mengabaikannya,” ungkap pengkritik cadas itu.
Dia mendesak Pj Bupati Aceh Timur beserta seluruh jajarannya, segera membuktikan komitmen serta penghormatannya terhadap HAM secara nyata, karena menurut Ronny hal itu sangat diperlukan sebagai jaminan bagi upaya pemenuhan HAM di Aceh Timur.
” Pj bupati beserta seluruh jajarannya, bahkan siapapun pemimpin Aceh Timur masa depan, mesti bisa membuktikan penghormatan serta komitmennya terhadap HAM, karena inilah basis utama bagi upaya memajukan kualitas masyarakat, dan jaminan bagi pemenuhan HAM untuk semua, karena bila tidak, itu artinya semua hanyalah omong kosong belaka,” pungkas Alumni Universitas Ekasakti itu menutup keterangannya.
Setiap tahunnya pada 10 Desember warga dunia memperingati hari HAM sedunia yang bertepatan dengan hari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) pada tahun 1948.
UDHR sendiri merupakan dokumen tonggak sejarah yang menyatakan hak-hak yang tidak dapat dicabut yang dimiliki setiap orang sebagai manusia, terlepas dari ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, bahasa, aliran politik maupun pendapat lainnya. Juga terlepas dari asal kebangsaan, tingkat sosial, properti, kelahiran hingga status lainnya.
HAM atau Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata kerena manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.
Namun sayangnya, masih banyak pihak yang melakukan pelanggaran HAM. Bahkan hampir setiap negara memiliki permasalahan dalam usaha untuk menegakkan HAM, tidak terkecuali di Indonesia.
Pelanggaran HAM berat adalah kejahatan luar biasa yang mengakibatkan kerugian yang bersifat sulit dikembalikan ke keadaan semula. Korban pelanggaran HAM berat umumnya menderita luka fisik, mental, penderitaan emosional dan kerugian lain yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Pelanggaran HAM berat juga menyebabkan kerugian materiil bagi korbannya. Perumusan tentang pelanggaran HAM berat belum secara jelas ditetapkan dalam berbagai resolusi maupun deklarasi yang telah diadakan oleh negara-negara di dunia.