Banda Aceh.Cucu Sultan Aceh Cut Putri yang juga Pemimpin Darud Donya Aceh mengatakan bahwa Laksamana Malahayati adalah Laksamana wanita pertama di dunia, yang memiliki peran besar dalam sejarah Aceh. Kisahnya amat terkenal, sehingga hari kelahirannya 1 Januari 1550 M oleh UNESCO diperingati sebagai Hari Pahlawan Dunia.
Laksamana Malahayati adalah anak Laksamana Mahmud, yang merupakan putra Sultan Salahuddin (1530-1539 M) bin Sultan Ali Mughayat Syah.
Sejak kecil Laksamana Malahayati telah menunjukkan sikap yang berbeda dengan kawan sebayanya. Laksamana Malahayati memiliki banyak kelebihan baik dalam kepemimpinan, keberanian, kecerdasan, dan tekad yang kuat.
Pada Masa Sultan Alaidin Ri’ayatsyah Al Kahhar (1539-1572 M) Sultan Aceh mengadakan hubungan dengan Sultan Turki Utsmani. Sultan Turki mengirimkan 300 perwira pilihan ke Aceh.
Para Perwira Turki kemudian menetap di Gampong Bitai Bandar Aceh Darussalam, dan mendirikan Ma’had Askery Baital Maqdis yaitu sekolah tempat pelatihan ilmu keislaman dan militer Kesultanan Aceh Darussalam. Hanya yang terpilih yang mendapatkan didikan disini. Laksamana Malahayati kemudian belajar ilmu perang dan kemiliteran dari Jenderal Perang Turki Di Bitai yang terkenal dengan Gelar Teungku Chik Di Bitai.
Laksamana Malahayati menjadi salah satu kader terbaik pendidikan militer di Bitai. Laksamana Malahayati dan suaminya kemudian mengabdi kepada Sultan Sayyidil Al Mukammil.
Laksamana Malahayati diangkat sebagai Panglima Dalam Kawal Raja, sedangkan suaminya menjadi pemimpin armada Aceh, yang kemudian gugur dalam pertempuran laut.
Akhirnya Laksamana Malahayati meminta izin kepada Sultan untuk membalas kematian suaminya, dan berjihad melawan kafir Portugis.
Sultan Sayyidil Al Mukammil lalu mengangkat Laksamana Malahayati menjadi pemimpin 100 kapal perang. Dengan kemampuan militernya yang hebat Laksamana Malahayati menjadi kekuatan yang sangat ditakuti Portugis. Akhirnya Laksamana Malahayati diangkat menjadi Panglima yang menjaga sepanjang Kuala Aceh, termasuk Kuta Biram, Kuta Leubok, hingga ke Kuta Farushah Pindi Gampong Pande.
Pada masa Laksamana Malahayati, datang utusan Belanda Cornelis De Houtman. Cornelis De Houtman bersikap angkuh walaupun sudah diterima penuh penghormatan oleh Sultan Sayyidil Al Mukammil. Ketika Sultan Sayyidil Al Mukammil mengutus Syahbandar muhibah ke kapal Cornelis untuk bertamu. Cornelis malah membunuh Syahbandar dan utusan Sultan Aceh.
Marah karena keangkuhan Cornelis De Houtman yang terlalu meremehkan Kesultanan Aceh, Laksamana Malahayati bertindak. Jenderal Cornelis De Houtman dibunuh dalam duel tanding satu lawan satu melawan Laksamana Malahayati pada tanggal 11 September 1599 M.
Insiden ini telah membuat Raja Belanda Prinst Maurits mengirimkan utusan dan surat permohonan maaf kepada Sultan Aceh Sultan Sayyidil Al Mukammil. Prinst Maurits Van Nassau juga mengganti rugi kerugian Aceh. Atas Itikad baik Ini Sultan Sayyidil Al Mukammil mengutus Utusan Aceh ke Belanda yakni Orang Kaya Abdul Hamid, Laksamana Sri Muhammad dan Mir Hasan. Utusan Aceh datang ke Belanda dan disambut Raja Belanda Prinst Maurits. Belanda saat itu sedang membebaskan diri dari Penjajahan Spanyol. Negara Aceh adalah negara yang pertama sekali mengakui kemerdekaan Belanda di mata dunia.
Kuatnya Benteng Kuta Biram membuat utusan Portugis datang meminta Benteng. Portugis membawa kuda Tizi Portugal untuk berlomba dengan Kuda Tizi Istanbul milik Perkasa Alam Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Dalam perlombaan Iskandar Muda menang telak yang disambut riang gembira oleh Aceh. Setelah pertemuan, Sultan menolak menyerahkan Kuta Biram walaupun hadiah Portugis sangat banyak, sebab Kuta Biram dan Kuta Leubok adalah kawasan milik penjagaan Laksamana Malahayati yang menjaga Kuala Aceh.
Pada tahun 1602 M Laksamana Malahayati ikut menerima kedatangan James Lancaster utusan Inggris ke Aceh.
Ketika Sultan Iskandar Muda naik Tahta (1607-1636 M) Laksamana Malahayati ikut ekspedisi Perang Aceh melawan Portugis. Perang paling dahsyat adalah perang di Laut Baning 1615 M antara kesultanan Aceh melawan Portugis. Laksamana Portugis dipimpin oleh Laksamana Miranda dan Laksamana Mendoga Sedangkan Laksamana Aceh dipimpin oleh Laksamana Malahayati dan Laksamana Malem Dagang. Dalam perang ini Aceh menang telak, sejak itu kekuatan Portugis pun hancur. Laksamana Malahayati berpulang ke rahmatullah di tahun yang sama dan dimakamkan secara pahlawan.
Dalam naungan dan pimpinan Kesultanan Aceh Darussalam saat itu, negeri-negeri di Melayu Nusantara kemudian tumbuh berkembang, saling bersaudara dan bekerjasama dalam mengembangkan dakwah Islam ke seluruh kawasan Asia Tenggara.
Pada tahun 2017 Laksamana Malahayati resmi dijadikan Pahlawan Nasional. Cut Putri yang merupakan keluarga dari Laksamana Malahayati, saat itu aktif dalam mensukseskan pengusulan Laksamana Malahayati menjadi pahlawan nasional, dan juga hadir dalam kegiatan-kegiatan terkait, termasuk menjadi narasumber kunci dalam kegiatan verifikasi akhir, yang diselenggarakan di kediaman Wakil Gubernur Aceh pada tanggal 19 September 2017 silam.
“Saat itu Laksamana Malahayati hampir gagal dan dicoret dari daftar penerima anugerah pahlawan Nasional dikarenakan adanya pihak luar yang memberikan data yang salah. Akhirnya saya diminta menjadi Narasumber Kunci untuk hadir mengklarifikasi dan menyelamatkan keadaan”, kenang Pemimpin Darud Donya ini.
Kegiatan verifikasi tersebut dihadiri langsung oleh tim dari Kementerian Sosial yaitu Direktur Kepahlawanan Drs. Hotman, M.Si, yang khusus datang ke Aceh bersama sejarawan nasional, yaitu Dr. Anhar Gonggong dan Dr. Mukhlis Paeni. Ikut hadir bersama Wakil Gubernur Aceh yaitu Kepala Dinas Sosial Aceh beserta jajaran, dan para tokoh sejarawan Aceh diantaranya Rusdi Sufi, Mawardi Umar, Nurdin AR, dan lain-lain
Dalam kegiatan verifikasi tersebut Cut Putri khusus hadir atas permintaan langsung dari Forkopimcam Mesjid Raya di Lamreh Krueng Raya Aceh Besar, dan juga permintaan langsung dari Pemerintah Kabupaten Aceh Besar, yaitu lokasi tempat persemayaman terakhir Laksamana Malahayati. Cut Putri hadir dari Kesultanan Aceh Darussalam untuk mewakili keluarga Laksamana Malahayati, untuk menguatkan sosok dan kepahlawanan Laksamana Malahayati.
Pemaparan Cut Putri saat itu berhasil meyakinkan tim verifikasi dari Kementerian Sosial Jakarta, sehingga nama Laksamana Malahayati tidak jadi dicoret dari daftar penerima anugerah.
“Akhirnya hari itu seluruh hadirin bersepakat bahwa Laksamana Malahayati memang layak dijadikan sebagai pahlawan nasional, dan kami dari keluarga Kesultanan Aceh sebagai keluarga Laksamana Malahayati, turut bersyukur dan berbahagia atas kehormatan itu, sebagai teladan bagi generasi penerus bangsa”, tutur Cut Putri Pemimpin Darud Donya.
Tak lama setelah itu Cut Putri mendapat kesempatan untuk kembali menggaungkan nama Laksamana Malahayati, kali ini ke dunia Internasional melalui UNESCO.
“Kami mendapatkan kesempatan untuk memperjuangkan agar nama Laksamana Malahayati dan Gampong Pande menjadi nama besar yang dikenang resmi oleh dunia melalui PBB. Mengingat Laksamana Malahayati adalah pejuang Aceh yang sangat terkenal di dunia, sedangkan Gampong Pande adalah kawasan ternama di dunia bagian dari wilayah penjagaan Malahayati sebagai Titik Nol Kesultanan Aceh. Maka dimulailah perjalan panjang untuk mewujudkannya”, kata Cucu Sultan Aceh yang intens menjalin hubungan internasional antara Aceh dan negara-negara luar.
“Alhamdulillah, perjuangan untuk menjadikan hari lahir Laksamana Malahayati sebagai perayaan internasional akhirnya tercapai di tahun 2023 lalu,” ujar Cut Putri yang mengawal ketat proses panjang di PBB itu.
Cut Putri sebagai Cucu Sultan Aceh juga menyampaikan terima kasih kepada sahabat baik Kerajaan Aceh, seperti Malaysia, Rusia, Thailand, Togo, dan Turki, yang mendukung penuh usulan pengakuan hari kelahiran Laksamana Keumalahayati sebagai perayaan internasional.
“Kerja keras dan dukungan dari negara-negara sahabat kita kepada Aceh sangat luar biasa,” tambahnya.
Gampong Pande yaitu Kawasan Kuta Farushah Pindi tempat berdirinya Istana Darul Makmur sebagai Titik Nol Kesultanan Aceh Darussalam, kini juga sedang diproses oleh UNESCO, untuk ditetapkan sebagai Kota Tua Warisan Dunia, setelah Hikayat Aceh Sultan Iskandar Muda dan Hari Lahir Laksamana Keumalahayati.
“Alhamdulillah, kita bersyukur bahwa negara-negara sahabat Aceh dan dunia internasional mendukung penuh Aceh dalam memperjuangkan eksistensi kegemilangan sejarahnya”, lanjut perekam Tsunami Aceh 2004 yang terkenal ke seluruh dunia ini.
Dari pengalamannya ini Cut Putri ingin berbagi hikmah, “Bahwa dibalik suatu keberhasilan, ada perjuangan dan pengorbanan berat yang sering tersembunyi dari pandangan. Keberhasilan yang terlihat sekarang sebenarnya hasil dari perjuangan dan pengorbanan tulus dari orang-orang yang bahkan mungkin tidak kita kenal. Maka mari kita hormati para pahlawan, baik yang dikenal maupun yang tanpa nama, dan tanpa tanda jasa”, ujarnya.
Sebagaimana halnya Laksamana Malahayati, yang kisahnya dikagumi ratusan tahun kemudian, karena kesetiaan, kegigihan dan semangatnya dalam mempertahankan kehormatan dan kedaulatan Kesultanan Aceh Darussalam.