Membangun Peradaban Menuju Aceh Sejahtera

Banda Aceh138 Dilihat

MEMBANGUN PERADABAN MENUJU ACEH SEJAHTERA

Banda Aceh – Tiga tokoh Aceh beragam latar unjuk pendapat dan gali pengalaman historis terkait solusi membangun kesejahteraan dengan merefleksikan peradaban Aceh lewat Talkshow RRI Pro 1 Banda Aceh, Rabu (10/1/2024).

Dikemas secara apik, wawancara luar ruangan disiarkan langsung dalam program RRI Pro 1 Banda Aceh mengambil tajuk “Membangun Peradaban Menuju Kesejahteraan dan Perekonomian Aceh” di lokasi ruang lobi Hermes Palace Hotel Banda Aceh.

Para narasumber talkshow yang diberi

Berlangsung satu jam dimulai sejak pukul 09.00 WIB s.d. selesai talkshow umumnya menyoroti problema hambatan pembangunan Aceh.

Dari kalangan Akademisi, Dr. Iskandar A Majid, MBA (Dosen Unsyiah) yang juga pegiat UMKM Aceh mengutarakan hambatan pertumbuhan ekonomi segmen UMKM.

Sedangkan Iskandar, S. Sos, M. Si selaku pembicara mewakili komunitas pariwisata dan ekonomi kreatif yang juga Staf Ahli Walikota Banda Aceh mengilustrasikan sejarah peradaban Aceh yang dulunya sangat terbuka, investasi bahkan pertukaran budaya berlangsung langgeng saling menguatkan telah jauh dimulai di era Kesultanan Aceh Darussalam.

Dr. Hilmi AR, M. Si selaku Direktur Politeknik Aceh sebagai pembicara ketiga talkshow umumnya menyoroti problema pendidikan vokasi yang hingga saat ini masih tersendat pemanfaatan dan juga nilai-nilai SDM berkualitas dengan skill siap memasuki dunia kerja juga industri.

Anggapan publik terkait pendidikan vokasi menurutnya penting untuk dilakukan penguatan, sehingga publik lebih yakin memilih perguruan tinggi setara diploma, selaku Direktur Politeknik Aceh.

Ia juga ingin berbuat lebih demi perubahan pembangunan Aceh lebih baik, SDM alumni dan ketersediaan lapangan kerja lulusan juga penting mendapatkan perhatian bersama.

Ikut dihadiri oleh peserta dan undangan dari kalangan mahasiswa, aktifis, seniman juga budayawan, juga awak media, sesi tanya jawab talkshow dari sisi peserta yang hadir umumnya menyoroti problema birokrasi dalam bidang ekonomi yang sebaiknya ada upaya signifikan dari sisi kepemimpinan di Aceh agar terbangun dunia usaha juga bisnis yang lebih terbuka dan demokratis.

Peserta juga menginginkan agar peran para pihak dalam pembangunan ekonomi Aceh lebih bersifat representatif sisi budaya, representatif bahan baku lokal.

Menurut salah satu peserta, terobosan membangun Aceh dari kajian budaya seharusnya turut dipakai sebagai segmen road map dan garis besar haluan pembangunan Aceh secara umum, agar kekhasan, keistimewaan Propinsi Aceh itu sendiri tetap terlihat di segala lini pembangunan, termasuk perekonomian.

“Sikap dan kebiasaan di Aceh sebagai warisan masa lalu harus mampu sama-sama kita refleksikan, hal-hal baik yang diwarisi sejak masa lalu harus mampu dipertahankan, seperti keterbukaan dengan pendatang dalam investasi bahkan perang yang berlangsung lama dalam sejarah Aceh dulu kita tetap mampu bangkit dan kembali diperhitungkan dunia internasional.

Peringkat kesejahteraan Aceh secara nasional memang kurang menggembirakan, karenanya, peran pemerintah terutama pengaruh pemimpin yang sangat penting untuk menjaga terciptanya pertumbuhan ekonomi kawasan.

Legacy dari sosok pemimpin justru mampu menerobos hambatan pertumbuhan ekonomi, kebijakan, hukum maupun pengawasan yang berada di tangan pemimpin sangat menentukan arah kesejahteraan Aceh yang hendak dicapai”, papar Iskandar.

“Aceh ada tiga ‘duek’, duek pakat, duek pike, juga ternyata ada duek pake, hal yang sudah membudaya ini tentu terlihat mendominasi keseharian publik Aceh, namun untuk duek pake, agaknya masih tetap saja menjadi kendala klasik, dari hal ini kita memerlukan Aceh Sepakat yang harus sepakat, Aceh Kongsi yang seharusnya berkongsi,” ungkap Iskandar A Madjid.

Sherly salah satu peserta mewakili awak media menyorot perlunya zona perdagangan syariah, pasar syariah, mengambil bandingan seperti di Jogyakarta, telah ada kawasan transaksi ekonomi yang berpola syariah, bahkan ada barter barang dengan barang.

Selain itu, proses sterilisasi birokasi di bidang ekonomi sektor UMKM sepatutnya lebih baik pengaturannya ke depan, agar jika ada bantuan kredit UMKM dan fasilitasi penguatan ekonomi segmen ini, para pengusaha dapat merasakan keadilan dan keterbukaan persaingan usaha yang sehat pula.

Sementara itu, Ayi Ramli mewakili bidang Ekonomi Kreatif di pengurus Majelis Seniman Aceh (MaSA) turut hadir memaparkan beberapa situasi kendala Aceh untuk bangkit secara ekonomi menuju kesejahteraan.

Ia bahkan mengungkap ketersetujuan di bentuknya kawasan UMKM di Banda Aceh dengan kemudahan dan pengelolaan kawasan bisnis transaksi publik lewat pemanfaatan aset Pemda Aceh juga Pemko Banda Aceh, lahan kepemilikan dengan regulasi yang baik dan keberpihakan pemerintah daerah pada pelaku dunia usaha adalah wujud nyata pemimpin dan seperangkat birokrasi turunannya untuk meraih kerja sama saling menguntungkan.

Menanggapi unjuk opini dan pertanyaan peserta, Iskandar selaku Staf Ahli Walikota Banda Aceh mendukung pandangan para peserta juga sesama Nara sumber, baginya, upaya kolaborasi berbagai pihak adalah rangkaian pembangunan ekonomi Aceh yang tidak boleh dianggap sederhana.

Menilik kebiasaan, peradaban Aceh dulu, Iskandar percaya bahwa kolaborasi juga membuka peluang investasi dan tidak alergi penyewaan aset kepada investor dengan perjanjian kontrak formil terbuka yang sehat harus jadi pilihan terobosan, aset-aset pemerintah yang dulunya telah menguras keuangan itu sepatutnya sebagai modal yang mampu memberikan keuntungan masa depan, tidak sebaliknya jadi mubazir dan dimanfaatkan oleh pihak tak berhak.

“Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan kebijakan, penegakan hukum dan ekonomi yang berkeadilan menuju kesejahteraan Aceh lebih baik, di sinilah peran legacy pemimpin daerah diuji.

Semoga kemandirian dan sikap melek sejarah peradaban tetap menghasilkan potensi kebijakan yang berpihak pada rakyat dan kepentingan umum, tidak semata kelompok tertentu yang meraih faedah penyelenggaraan pembangunan, itulah mengapa kesadaran sejarah sangat penting, agar tak terulang kegagalan dan setidaknya mampu meniru keberhasilan masa lalu Aceh” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *