Laskar Panglima Nanggroe: Pelantikan Pejabat Eselon II Diduga Jadi Upaya ‘Sabotase’ Kinerja Mualem

Banda Aceh101 Dilihat

 

 

 

Banda Aceh – Langkah politik Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Safrizal ZA kembali menuai sorotan tajam.

 

Kali ini, pelantikan tiga pejabat eselon II di lingkungan Pemerintah Aceh pada Rabu (5/2/2025) dianggap sebagai bentuk sabotase terhadap pemerintahan Gubernur Aceh terpilih Muzakir Manaf (Mualem), yang sebentar lagi akan dilantik.

 

Pelantikan ini mencakup Muhammad Diwarsyah sebagai Asisten Administrasi Umum Sekda Aceh, T Aznal Zahri sebagai Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perkim) Aceh, serta satu pejabat lainnya yang masuk dalam daftar pergantian di akhir masa jabatan Safrizal.

 

Langkah ini langsung menuai kritik keras dari berbagai kalangan, terutama dari Ketua Umum Laskar Panglima Nanggroe, Sulaiman Manaf.

 

Manuver Politik Terselubung?

 

Sulaiman Manaf secara terbuka menyebut pelantikan ini sebagai upaya Safrizal untuk menyabotase kinerja awal Mualem.

 

Menurutnya, keputusan ini tak lebih dari strategi menyelamatkan dua “sohib” Safrizal, yang diduga memiliki keterkaitan dengan calon gubernur Aceh nomor urut 01, Bustami Hamzah dan Syeh Fadhil.

 

“Apa urgensinya mengganti pejabat di ujung masa jabatan? Ini jelas upaya menjebak pemerintahan baru dan menghambat kerja 100 hari Mualem. Kalau Safrizal bilang ini bagian dari penyegaran birokrasi, itu hanya alasan klise. Yang sebenarnya terjadi adalah upaya menyusun perangkap administratif,” kata Sulaiman dengan nada tegas.

 

Menurutnya, langkah ini menunjukkan bahwa Safrizal masih bermain politik meski seharusnya fokus pada transisi pemerintahan yang lancar dan profesional.

 

“Masyarakat Aceh harus sadar, ini bukan sekadar pelantikan, tapi manuver politik,” tambahnya.

 

*Kinerja Buruk dan Kontroversi Safrizal*

 

Jika ditelusuri, bukan kali ini saja Safrizal ZA membuat keputusan kontroversial.

 

Sejak menjabat sebagai Pj Gubernur Aceh, kebijakannya kerap dikritik karena minim inovasi dan dianggap lebih fokus pada kepentingan kelompok tertentu.

 

Beberapa kebijakan yang menuai kontroversi selama kepemimpinannya antara lain:

 

1. *Uji Kompetensi Pejabat Eselon II di Akhir Jabatan*

 

Safrizal menggelar ujikom untuk 20 pejabat eselon II hanya beberapa minggu sebelum lengser.

 

Langkah ini dinilai sebagai akal-akalan untuk mengunci posisi pejabat tertentu agar tidak bisa diganti oleh pemerintahan baru.

 

2. *Minimnya Terobosan Pembangunan*

 

Selama menjabat, tidak ada gebrakan berarti yang dilakukan oleh Safrizal untuk mendorong pembangunan Aceh.

 

Justru, program-program yang seharusnya menjadi prioritas seperti pengentasan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur berjalan lamban.

 

3. *Dugaan Intervensi Politik*

 

Safrizal ditengarai bermain dalam dinamika politik lokal dengan mendukung figur-figur tertentu dalam Pilgub Aceh 2024.

 

Ini diperkuat dengan fakta bahwa pejabat yang dilantik hari ini memiliki kedekatan dengan kubu Bustami Hamzah.

 

Dengan rekam jejak seperti ini, tak heran jika publik mempertanyakan motif di balik pelantikan pejabat baru menjelang pelantikan Mualem.

 

*Dampak bagi Pemerintahan Mualem-Dek Fadh*

 

Pelantikan ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintahan baru Mualem-Dek Fadh.

 

Berdasarkan aturan, pejabat yang baru dilantik tidak dapat dimutasi selama dua tahun kecuali ada alasan kuat.

 

Hal ini berpotensi menghambat fleksibilitas pemerintahan baru dalam membangun tim yang sesuai dengan visi-misinya.

 

Namun, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sebelumnya telah menegaskan bahwa kepala daerah definitif memiliki hak untuk mengajukan mutasi ulang jika pejabat yang dilantik oleh Pj Gubernur tidak sesuai dengan kebutuhan pemerintahan baru.

 

Ini menjadi celah yang bisa dimanfaatkan oleh Mualem untuk membenahi struktur birokrasi sesuai arah kebijakan mereka.

 

*Warisan Beracun Safrizal*

 

Langkah Safrizal ini seakan menegaskan bahwa masa transisi pemerintahan di Aceh tidak akan berjalan mulus.

 

Alih-alih memastikan pergantian kepemimpinan yang bersih, ia justru meninggalkan “ranjau birokrasi” yang bisa menjadi batu sandungan bagi pemerintahan baru.

 

Masyarakat Aceh kini menunggu langkah Mualem-Dek Fadh untuk menanggapi manuver ini.

 

Akankah mereka membiarkan warisan Safrizal ini tetap bertahan, atau justru membongkar jaringan politik yang berusaha menghambat jalannya pemerintahan?

 

Satu hal yang pasti, drama politik di Aceh masih jauh dari kata selesai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *